Perbedaan itu
adalah sebuah keniscayaan, maka semestinya juga merupakan sebuah keniscayaan
kalau kita mesti belajar menyikapi perbedaan. Terlebih kalau perbedaan tersebut
adalah suatu hal yang sifatnya aksidental. Bukankah kita diciptakan berbeda
supaya saling mengenal satu sama lain, coba renungkan kalau kita semua
diciptakan sama, mulai dari struktur fisik, warna kulit, jenis kelamin,
kira-kira peradaban seperti apa yang akan lahir? Maka suatu hal yang sifatnya
fitrawi kalau dalam setiap hal kita akan selalu menemukan perbedaan. Justru
dengan perbedaanlah akan lahir sebuah harmonisasi yang indah, bayangkan kalau
warna pelangi sama, tidak ada susunan warna. Terus apa yang membedakan ia
dengan langit yang satu warna atau awan yang juga cuma satu warna. Kita
menghakimi pelangi Indah karena adanya susunan warna yang berbeda, sementara
langit dan awan terlihat biasa-biasa saja. Sungguh alam semesta ini menyimpan
beragam fenomena yang harus kita renungkan. Merenunglah karena merenung adalah
sebuah proses berpikir di mana kita menghargai perbedaan kita sebagai mahluk
yang berbeda dengan mahluk lainnya. Penghargaan kita terhadap yang membedakan
kita dengan mahluk lainnya adalah karena kita diciptakan sebagai mahluk yang berakal.
Maka sebuah
keanehan terbesar sepanjang peradaban ummat manusia adalah ketika masih saja
ada yang tidak tahu menghargai perbedaan. Masih mengekslusifkan sesuatu yang
bukan otoritasnya. Orang yang tidak bisa menghargai perbedaan adalah orang yang
tidak menghargai tuhan, karena perbedaan adalah karya tuhan. Termasuk bagaimana
menyikapi perbedaan pada persoalan benar salah. Dalam hal bagaimana menyikapi
perbedaan pada persoalan benar salah, kecenderungannya cara menyikapi akan terbagi terbagi
dalam tiga karakteristik. Deskripsi tentang bagaimana menyikapi perbedaan bisa
diilustrasikan dengan beragam analogi. Semisal “Bagaiamana kalau kebenaran itu
muncul dengan seribu wajah yang berbeda”. Apakah kita semua akan menyikapinya dengan
cara yang sama. Jawabannya kan tidak, justru dari cara menyikapi juga akan
muncul perbedaan. Lalu apakah dengan perbedaan menyikapi benar salah tersebut
kita tidak bisa membedakan yang mana benar yang mana salah. Dari cara menyikapi
bisa dibedakan beragam
karakteristik.
Karakteristik
yang pertama bernama ekslusifis penganutnya disebut “Kaum Ekslusifis” ia akan
mengambil satu wajah kemudian ia mengatakan “Inilah wajah kebenaran, tidak ada
kebenaran selain dari wajah ini”. Kemudian karakteristik yang ke dua bernama inklusifis
“Kaum Inklusifis” Ia juga akan mengambil satu wajah kemudian mengatakan “Inilah
wajah kebenaran, Mungkin ada
kebenaran selain wajah ini. Dan karakteristik yang ketiga bernama pluralis, “Kaum
pluralis” ia akan mengambil satu wajah kemudian mengatakan “Inilah wajah
kebenaran, ini hanyalah sekian dari banyaknya wajah kebenaran”.
Dan pada kondisi
di mana kita mampu membedakan yang mana benar yang mana salah, apakah cara
menyikapi kita harus dengan menertawai atau menghujat. Atau sampai pada titik
ekstrim “mengkafirkan. Justru dengan cara menyikapi seperti itu dengan
sendirinya mendalilkan kalau kita belum bisa membedakan posisi benar salah.
Menurut penulis “dalam persoalan menyikapi perbedaan Baik buruk dan rasional
bukanlah suatu hal yang sifatnya kontradiktif”. Ada yang menyikapi perbedaaan
bukan dengan cara seperti itu tetapi justru mengasihani dan mendoakan. Ini yang
semestinya kita teladani. Bukankah ini adalah persoalan bagaimana menyikapi. Dan
parameter bagaimana menyikapi sudah jelas. Siapa yang mesti diteladani dan
bagaimana cara meneladaninya.