Jumat, 25 November 2011

Ekonomi Dalam Jerat Kapitalisme Global


Jelas dalam UUD dasar kita pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD yang merupakan landasan konstitusi dalam menjalankan roda pemerintahan menegaskan bahwa Negara ini adalah organisasi yang bertujuan untuk memakmurkan anggotanya (Red:rakyatnya). Tidak boleh ada nafsi-nafsi dalam pengaplikasiannya karena kandungannya jelas tersurat dan sudah melewati empat tahapan amandemen. Indonesia adalah sebuah negara hukum rechstaat, artinya setiap kebijakan pemerintah harus memiliki pertimbangan secara yurisdiksi.  Indonesia adalah sebuah Negara yang sering mendeklarasikan diri sebagai sebuah Negara yang kaya akan sumber daya alam. Dan katanya jika kekayaan alamnya diolah secara proporsional dan transparan maka mayoritas rakyat dipastikan akan hidup makmur. Tetapi realitas hari ini menunjukkan sesuatu yang kontras, Indonesia tetaplah sebuah negara yang akrab dengan kemiskinannya. Indonesia yang tidak bisa lepas dari jerat utang Internasionalnya. Indonesia tetap asik dengan diskusi seolah-olahnya tentang bagaimana memerangi korupsi. Ataukah yang diluar dari pembahasan hukum, Indonesia yang penontonnya galau karena Timnas U 23nya gagal merebut medali emas Sea games. Indonesia tetap dengan 1001 cerita tentang kegagalannya. Ya seperti itulah faktanya Gap antara Das sein dan Das sollen masih sangat menganga lebar.
            Kembali pada amanah konstitusi pasal 33 ayat 3 yang menjadi pokok pembahasan. Aplikatifkah pengewajantahan UUD kita.? Ataukah ada sesuatu yang salah dalam menerjemahkan amanah dari UUD? UUD memang bukan aturan pelaksanaan, aturan yang diabstraksikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Misalnya UU Pertambangan Minyak bumi dan gas (Migas). Tetapi satu hal yang harus dipastikan adalah bahwa isi dan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan landasan konstitusi. Landasan konstitusi kita dengan jelas mengamanahkan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konstitusi adalah sebuah konsep niscaya untuk memakmurkan rakyat. Jadi logika sederhananya adalah kalau masyarakat belum hidup makmur berarti amanah dari UUD dasar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada sesuatu yang kontradiktif dalam mengejawantahkan amanah UUD, Hal inilah yang akan coba kita analisa kenapa amanah itu abadi dikhayalan utopis dipraktis?
“Dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sekilas ini adalah sebuah kalimat yang memberi harapan akan terjaminnya sebuah keadilan sosial seperti yang tercantum dalam pancasila butir ke 5 yang sekaligus sebagai landasan filosofi. Lalu kenapa Negara ini tidak bisa mewujudkan sebuah keadilan sosial. Bukankah negara ini secara yuridis dan filosofis mendukung terwujudnya sebuah masyarakat adil makmur. Iya, tetapi hari ini kita terbentur oleh sebuah hegemoni. Hegemoni kaum kapitalis. Dan sebenarnya apakah kapitalis itu? Apa pengaruh kapitalis terhadap sistem perekonomian atau dalam arti holistik? Seberapa besar pengaruh kapitalis sehingga kita paranoid mendengar term ini. Walaupun sebenarnya Tidak ada kesepakatan dalam mendefinisikan kapitalisme. Sebuah film dokumenter yang disutradarai Michael Moore, Capitalism, A Love Story dengan jenaka membuktikan bahwa orang-orang kapitalisme juga kebingungan saat disuruh  mendeskripsikan apa itu kapitalisme.  Secara umum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal (capital) untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Dalam logika kapitalisme, semua benda yang ada di alam ini berhak untuk dikuasai oleh manusia, selama dia punya uang (modal/capital). Mekanisme keadilan dilihat dari seberapa banyak modal yang anda miliki jadi kalau anda  komplain maka dengan congkaknya para kapitalisme berujar “siapa suruh ga punya modal? Kemiskinan kalian itu adalah salah kalian sendiri! Atau salah anda kenapa tidak memilih lahir dari rahim pemilik modal”. Contoh konkert yang biasa didiskusikan adalah pengelolaan minyak yang ada di dalam perut bumi.
Menurut para kapitalis, karena mereka yang punya uang dan teknologi untuk menyedot minyak itu, mereka pun berhak menguasai minyak itu dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak heran bila ada konglomerat super-super kaya karena jualan minyak. Realitas sudah sangat menunjukkan adanya penyimpangan dari amanah konstitusi, Dan yang lebih menyesakkan dada karena pemilik modalnya bukan orang pribumi tetapi para antek asing yang tidak henti-hentinya menguras kekayaan alam negeri ini. Bermula dari utang luar negeri yang bahasa halusnya pinjaman, para kapitalisme yang dimotori oleh organisasi Internasional Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memberikan pinjaman kepada negara anggotanya termasuk Indonesia. Dan konsekuensinya sederhana kalau menurut mereka Negara yang menerima pinjaman sebagai imbalannya harus melakukan kebijakan tertentu misalnya privatisasi badan usaha milik Negara. Jadi jangan protes kalau hari ini ada lumbung kekayaan alam yang dikelola oleh pihak asing. Mau nasionalisasi aset, regulasi kita lemah dan bisa diatur karena bisa lepas dari tendensi kepentingan segelintir orang. Kontrak karya yang disepakati bisa diperpanjang. Ya, kuras sampai habis.!!!
Lalu apa yang bisa atau seharusnya kita perbuat. Sedangkan kita sama-sama sepakat bahwa diam adalah bentuk persetujuan yang pasif. Membiarkan para kapitalis untuk tetap menggeruk kekayaan alam kita? Harus ada counter-hegemony, alam bawah sadar harus menjalani proses ‘penyadaran’ (emansipasi), supaya akhirnya kita mampu menciptakan masa depan sendiri melalui kehendak dan kesadaran penuh. Dan mari kita sama-sama berpikir apa solusi dari permasalahan ini, karena fitrahnya manusia adalah mahluk yang berpikir! Penulis bukan membagikan kebingungan tapi sadar bahwa setiap dari kita punya potensi untuk berpikir bagaimana menyelesaikan masalah. Butuh kesadaran kolektifitas karena masalah ini adalah masalah sosial dan teman-teman juga adalah mahluk sosial, kecuali kalau teman-teman mahluk asosial.!!
“Seseorang tidak bisa bebas tanpa kebesaran, Tetapi tak seorangpun bisa besar tanpa kebebasan” Khalil ghibran.

Kamis, 17 November 2011

Unhas & Manusia-manusia primitifnya

 Relakan kami padamu pertiwi
Izinkan kami bagimu pertiwi
Almamater Universitas Hasanuddin
Karunia Ilahi

Penggalan bait lagu diatas adalah ikrar yang hari ini sulit saya deskripsikan bagaimana pengejawantahannya. Ya Unhas atau akrab dengan julukan kampus merah adalah patronase dunia pendidikan khususnya di Indonesia timur. Ada kebanggan tersendiri ketika predikat sebagai mahasiswa unhas melekat dalam jenjang pendidikan kita. Kampus ini tiap tahun melahirkan ribuan alumni yang siap mengabdi untuk masyarakat sebagai wujud dari tri darma perguruan tinggi. Unhas adalah tempat belajar, belajar bukan hanya dari sudut pandang pragmatis bahwa unhas adalah jalan untuk mendapat gelar sarjana, setelah lulus kemudian diserap lapangan pekerjaan untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Tetapi kalau fakta bahwa mahasiswa unhas pragmatis berarti ada sesuatu yang salah. Apakah itu sistemnya atau mahasiswanya yang memang tidak bisa menghargai proses. Dan fakta hari ini relevan kalau dikaitkan dengan Nietsche dengan filsafat perspektivisme atau pemikiran Sigmund freud dengan mazhab behavorialnya yang mengatakan bahwa manusia hanya membutuhkan tempat tinggal, makanan, dan kebutuhan biologis (Seks). Apakah teman-teman mahasiswa hari ini adalah seorang Nietscheisme sejati?? Nietsche yang dengan gagahnya mengatakan "God is dead, Tuhan telah mati".
Secara institusi saya tidak pernah menyalahkan Unhas sebagai sebuah lembaga pendidikan, yang hari ini disoroti karena sebagian mahasiswanya bertindak primitif. Karena selama saya mengikuti perkuliahan tidak pernah diajarkan bertindak seperti manusia purba yang baru belajar berburu dengan menggunakan batu atau sesuatu yang dapat melumpuhkan buruan. Dari persfektif saya manusia purba masih lebih sedikit beradab dari manusia primitif versi modern karena yang mereka buru adalah sesuatu yang digunakan untuk menyambung hidup artinya manfaatnya besar dan mudaratnya kecil. Manusia primitif versi modern, saya katakan modern karena ini sudah tahun 2011 bos. Manusia primitif versi modern lebih sadis karena memburu sesuatu yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama dengan mereka, atau bahasa ilmiahnya kanibal. Ya di samping primitif ternyata juga penganut kanibalisme sejati. Manusia primitif di samping cenderung melindungi kelompoknya dengan asumsi solidaritas juga manusia maha narsis. Ada kebanggaan tersendiri ketika mereka berhasil membela kelompoknya tanpa ada tendensi benar salah. Kebanggaan semu yang membuktikan akutnya kedangkalan berpikir. Manusia-manusia primitif adalah mahluk perasa yang gampang terprovokasi, yang psikoanalis dalam menyelesaikan masalah dan sama sekali tidak logis. Atau dalam dunia asmara yang katanya posesif, melibatkan perasaan dan dapat melumpuhkan logika. Ahh kayak cewek saja.! Hhehe
Apakah deskripsi diatas adalah potret mahasiswa unhas? Saya ingin pembaca yang menarik konklusinya. Apakah mewakili seluruhnya atau sebagian? dampak dari prilaku manusia primitifnya? dan mungkin masih banyak sekali pertanyaan yang menggelayut di benak kita. Tetapi di sini kita akan lebih spesifik membahas dampaknya yang sistemik. Selama ini ada mitos yang berkembang bahwa rekruitmen tenaga kerja baik di ruang lingkup pemerintahan maupun swasta menjadikan bendera sipelamar sebagai sebagai salah satu platform penentu kapabilitas sipelamar khususnya masalah attitude. Saya katakan mitos karena saya tidak pernah menyelidiki secara ilmiah benar salahnya, tetapi ini adalah wacana umum yang biasa kita dengar. Mungkin setelah teman-teman sarjana dan menenteng map dari satu perusahaan ke perusahaan lain baru merasakan indikasi sosial dari kampus mana teman-teman mengenyam pendidikan. Ataukah teman-teman tidak perlu melamar pekerjaan karena sudah mewarisi harta kekayaan yang cukup untuk tujuh turunan.
Dan sebelum pembahasan ini berakhir ada berapa hal yang seharusnya kita uraikan sekaligus membantah persepsi publik terhadap kampus merah yang kita cintai ini. Karena saya yakin teman-teman banyak yang tidak sepakat dengan isi tulisan ini, mungkin ada yang menilai bahwa tulisan ini hanyalah akumulasi dari berapa peristiwa yang memalukan almamater kita. Saya juga ingin memastikan yang memberikan penilaian seperti itu adalah mahasiswa sosial atau mungkin mahasiswa yang pernah mengharumkan almamater kita dengan setumpuk prestasi. Bukan mahasiswa primitif, apatis, fanatik kultur atau dan lain-lain sebagainya yang tidak satupun definisi yang bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang manusia.
"Unhas rusuh" dan seketika langsung menjadi headline di media. Tidak tanggung-tanggung hampir semua media nasional meliput dengan kemasan provokatif seolah-olah kampus ini hanyalah pencetak generasi abal-abal. Didesain sedramatisir mungkin sampai wajah pimpinan kampus di munculkan pada saat melerai tawuran. Seketika itupula frame bahwa unhas sebagai salah satu perguruan tinggi populer dengan peminat yang bukan hanya skala indonesia timur tetapi sudah menasionalisasi bergeser 180 derajat dan kemungkinan animo pendaftaran pada tahun depan akan anjlok. Why always Unhas?. berbau politis? iyya, tapi saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskannya karena saya bukan pengamat politik. Kontrasnya adalah ketika kampus ini mengukir prestasi baik skala lokal, nasional, bahkan global kok tidak menjadi headline media. Mungkin masih segar diingatan teman-teman mahasiswa khususnya fakultas hukum pada tahun 2009 ketika kontingen unhas menjuarai debat konstitusi tingkat nasional dan larut dalam euforia. Di liput sih iya tapi tidak seheroik ketika terjadi kerusuhan dikampus ini. Aneh bin nyata.! Sebuah fakta empiris ketika giliran mengukir Prestasi kalau diibaratkan dalam sebuah buku hanya menjadi footnote (Catatan kaki), kemudian di tumpuk di rak yg berdebu. Hanya konflik horisontalnya yang di pelintir menjadi opini publik, kemudian inilah yang menjadi paradigma umum bahwa mahasiswa indonesia timur Anarkis & dijadikan alasan untuk menyeleksi mereka di dunia kerja. Mahasiswa sosial adalah korban over generalisasi dari mahasiswa Asosial. Jadi ketololan terbesar adalah ketika menyeleksi bukan karena skiil atau kolektifitas tapi dengan Melihat bendera (Institusi). Unhas besar bukan karena Unhasnya (red:namanya) tapi karena orang-orangnya begitupula sebaliknya.

Manusia adalah binatang yang rasional.!!!

Kamis, 25 Agustus 2011

Mahkamah Konstitusi dalam Bingkai Ketatanegaraan Indonesia

HANS KELSEN, BAPAK KONSTITUSI DUNIA Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain Legislatif diberikan tugas untuk menguji, apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau inkonstitusional, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini, produk badan Legislatif tersebut inkonstitusional (bertentangan dengan konstitusi).

Di Austria, pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga Verfassungsgerichtshoft atau Contitutional Court (MK) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Gagasan ini diajukan Kelsen ketika diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920 dan gagasannya tersebut diterima dalam Konstitusi 1920 Austria. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Walaupun demikian, keberadaan lembaga MK secara umum merupakan fenomena baru di dalam dunia ketatanegaraan.

DINAMIKA LAHIRNYA LEMBAGA PENGAWAL KONSTITUSI (MK) DI INDONESIALengsernya rezim otoriter Orde Baru di pertengahan tahun 1998, mendorong reformasi di berbagai sektor tak terhindarkan. Reformasi politik hingga reformasi konstitusi berbuah menjadi slogan umum yang tersepakati oleh khalayak ramai. Tak ayal perubahan (amandemen) konstitusi pun mengalami empat kali perubahan dalam satu rangkaian amandemen, sejak tahun 1999 sampai 2002.

Perubahan tersebut mengimplikasikan berbagai perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Termasuk terbangunya paradigma Supremasi Konstitusi (Supremacy of the constitution) yang disepakati menggantikan Supremasi Parlemen (Supremacy of parliament), sebagaimana yang diterapkan sebelumnya sebelum reformasi, dimana tongkat kekuasaan tertinggi di pegang oleh satu Lembaga Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Susunan Lembaga Negara pun mengalami perombakan yang sangat signifikan. Terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga negara yang baru, disamping ada juga yang dihilangkan. Salah satu dari sekian Lembaga Negara yang dibentuk sebagai hasil amandemen konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi (MK).

Dibentuk pada tahun 2003, MK di desain sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar. Sebagaimana konsekuensi logis dengan dianutnya paradigma Supremasi Konstitusi. Kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, membuat Indonesia tercatat sebagai Negara ke-78 yang di dalam konstitusinya mengakomodir dibentuknya MK secara tersendiri, di luar Mahkamah Agung.

Gagasan pembentukan MK di Indonesia dilandasi pula upaya serius pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dalam menegakkan konstitusi. Artinya, segala Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di bawahnya tidaklah boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertinggi.

Sesuai amanat konstitusi tersebut, MK memiliki 4 (empat) Kewenangan dan 1 (satu) Kewajiban (Pasal 24C UUD NRI 1945). Yaitu, Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945; Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945; Memutus pembubaran partai politik; dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun 1 (satu) kewajiban yang diembannya adalah MK wajib member putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau yang dikenal sebagai Impeachment.

MEKANISME PENGANGKATAN HAKIM KONSTITUSIMK beranggotakan 9 (Sembilan) orang Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh seorang Ketua dan Wakil Ketua. Mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi melibatkan ketiga unsur kekuasaan negara, yaitu Mahkamah Agung (Yudikatif), DPR-RI (Legislatif), dan Presiden (Eksekutif). Masing-masing mengajukan 3 (Tiga) orang Hakim yang kemudian kesembilan Hakim yang diajukan tersebut ditetapkan oleh Presiden sebagai Hakim Konstitusi dengan masa jabatan 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 (Satu) kali masa jabatan berikutnya.

Selain mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi yang melibatkan unsur Trias politika, MK juga dibentuk dengan fungsi dan peran penting untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi, sehingga hak-hak konstitusional warga negara terjaga, dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. (Acc)



SUMBER REFERENSI:- Budiarti, Rita Triana, On The Record Mahfud MD Di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Rabu, 24 Agustus 2011

Negeri mozaik kaca

Ada saat Negeriku tinggal sebuah nama
Mengisahkan cerita dan sejarah percuma
Kisah heroik pahlawan tak bernama
Menyusun serpihan Mozaik kaca
   
    Saat retorika berbusa jadi senjata
    Saat Tahta melahirkan seribu putra mahkota
    Saat korupsi menjelma jadi budaya
    Saat di mana syahwat tak mengenal etika

Aneh.! Fanatisme membabi buta
Lucu.! Maling teriak maling
Takabur.! Merasa paling dekat dengan surga
Gila.! Birokrasi mengidap cleptomani

    Katanya katanya katanya
    Menyusun kalimat tak bermakna
    Karena ada saat kita katanya
    Tertegun hanya menyusun mozaik kaca
    Di sebuah negeri antah berantah.

   

Sabtu, 06 Agustus 2011


Merefleksikan Cinta di bulan suci Bag 1.
Bahasa arabnya Mahabbahdalah ini dan bahwa cinta adalah itu. Tetapi terlepas dari munculnya berbagai interpretasi definisi “cinta” hal  itu tidaklah merubah paradigma bahwa cinta adalah sesuatu yang universal. Ci yang artinya pengasihan atau cinta. Banyak hal  yang menarik yang bisa kita bahas dalam perkara ini. Dari term inipun muncul berbagai interpretasi dalam pendefinisiannya. Bahwa cinta anta adalah sesuatu yang mencakup segala sesuatu. Oleh sebab itu “cinta” seharusnya berujung pada sebuah definisi objektif, dan inilah yang mesti kita pahami. Hakekat cinta tidak boleh sekuler dalam artian bahwa cinta yang kita pahami memisahkan dan mendikotomikan dimensi kehidupan antara cinta dunia dan cinta akherat, antara cinta seorang anak kepada ibunya dan cintanya kepada kekasihnya, antara cinta kita ke sesama mahluk dengan mahluk lainnya. Hakekat cinta adalah sebuah terminology universal “al-Kulliyah al-Khamsah”. Oleh sebab itu konsekuensi logisnya adalah bahwa cinta semestinya bermuara pada satu Tujuan  yakni semata-mata karena ini adalah bentuk ekspresi dan penghambaan kita kepada yang “Maha Pemilik cinta”. Penulis memberikan perumpamaan bahwa ekspresi cinta kita diibaratkan kelereng dalam sebuah wadah yang besar. Kelereng itu memiliki jumlah yang banyak dan bermacam warna tetapi tetap berada dalam sebuah wadah yang sama. Jumlah yang banyak dan yang bermacam warna inilah yang merupakan gradasi dari sebuah wujud cinta yang universal. Oleh sebab itu letak subjektifitasnya adalah ekspresi dari kecintaan kita terhadap sesuatu yang di luar dari diri kita. Cara kita menyuguhkan cinta kepada, Orang tua, Sahabat, Fakir miskin, Guru, dan Kekasih (pacar) tentu memiliki menu dan porsi yang berbeda (kecintaan kepada sesuatu yang konkret). Yang perlu diketahui adalah apakah diantaranya ada sesuatu yang lebih di prioritaskan sebab terkadang ada saat di mana kita di benturkan pada sebuah pilihan untuk mengorbankan salah satunya. Kebiasaannya kita memilih mengorbankan salah satunya karena kondisi psikologi tanpa mengetahui apakah dari semua hal tersebut di mata tuhan ada yang lebih diutamakan dan kecil mudaratnya.
Dan privativ dari cinta yaitu benci sebenarnya juga adalah cinta, cinta yang gradasinya paling dan sangat rendah. Walaupun sebenarnya dalam Al-Quran tidak ada kata “membenci”, yang ada adalah bentuk negative kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dengan kata ‘la’. Innalaha la yuhibbu (Sesungguhnya allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai tuhan kadang-kadang orang atau perbuatan. Semestinya hal inilah yang mesti kita kaji lebih jauh. Dalam buku The art of loving, atau seni mencinta, Erich fromm menulis bahwa manusia modern sesungguhnya adalah manusia yang menderita disebabkan oleh hasrat mereka untuk di cintai oleh orang lain. Manusia modern melakukan berbagai cara apa saja agar mereka bisa menarik simpati dari orang lain. Hal inilah yang menyebabkan generasi muda terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena mereka ingin dicintai dan diterima oleh lingkungan sepergaulannya. Seorang istri rela mengeluarkan biaya yang banyak untuk menguruskan tubuhnya agar di cintai oleh suaminya. Politikus tidak segan-segan menghalalkan berbagai cara untuk menarik simpati masyarakat dengan membeli kecintaan rakyat dengan uang milyaran rupiah. Yang dilakukan manusia modern adalah upaya untuk dicintai bukan upaya untuk mencintai. Pada akhirnya kita menemukan bahwa semakin keras manusia berusaha untuk dicintai semakin sering pula mereka gagal dan di kecewakan.
Adalah suatu hal yang mustahil untuk memperoleh kecintaan seluruh manusia sebab fitrahnya manusia di kelilingi oleh dua jenis orang: yang mencintai dan yang membenci dirinya. Dalam persfektif Erich Fromm manusia modern adalah manusia yang mengalami gangguan psikologis karena kegagalan untuk dicintai. Pada satu bagian dalam buku itu Erich from menulis: “Mungkin sudah waktunya kita beri tahu mereka untuk belajar mencintai”. Oleh sebab itu semestinya kita harus berikhtiar untuk memperoleh makna dan hakekat cinta yang sebenarnya. Cinta yang universal, Cinta yang karena kecintaannya kelak kita akan berada di surganya. Sebab jika target kita dalam hidup hanya untuk memperoleh kecintaan dari sesama manusia, kita kan selalu menemui kekecewaan sebab kecintaan mahluknya bersifat sangat sementara atau temporer. Atau pembaca mungkin sudah pernah mendengar kisah Musyawarah para burung Dalam manthiq Al_Thair karya fariduddin attar yang juga kebetulan dijadikan perumpamaan oleh Prof. Jalaluddin rakhmat dalam bukunya the road to allah yang kebetulan menjadi salah satu referensi dalam tulisan ini.
Lanjut menurut fromm adalah bahwa untuk menyembuhkan penyakit manusia modern yang bisa dilakukan adalah dengan belajar mencintai. Kebahagiaan hidup kita bergantung dari apa yang kita cintai. Dan secara gamblang Erich fromm menunjukkan kepada kita sebuah realitas bahwa dalam wacana ilmu pengetahuan kita akan sedikit menemukan literature yang berisi pelajaran untuk mencintai. Buku-buku mutakhir maupun artikel dalam dunia maya mayoritas mengajarkan kita akan kiat-kiat untuk dicintai. Dicintai lawan jenis, atasan, teman, ataupun rekan kerja. Bahkan populernya proses mencintai yang diajarkan bukanlah proses pembelajaran, melainkan proses “kecelakaan”. Kita mengenal istilah “jatuh cinta” atau “fall in love” bukannya “belajar mencinta” atau “learn to love”. Di sebut “jatuh” karena kita menganggap mencintai sebagai suatu kecelakaan yang tidak direncanakan sebelumnya.
Tetapi sebelum jauh membahas panjang lebar hal tersebut mungkin lebih bijak jika kita melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni hal apakah yang tidak di cintai oleh tuhan atau dalam artian sesuatu tersebut keluar dari koridor atau ketetapan yang sudah menjadi hukum tuhan yang berlaku secara universal. Sesuatu yang mungkin teraleniasi dalam benak para pencinta yang pada hakekatnya yang dipahaminya itu bukanlah makna cinta yang sebenarnya. Sebab hari ini banyak potret edan karena cinta, orang bunuh diri karena cinta, saling mengkafirkan karena cinta (fanatisme), bahkan hamil di luar nikah karena cinta (cinta karena hawa nafsu). dan penulis teringat pada satu film kolosal yang diangkat dari kisah nyata (lupa judulnya). Di mana pada salah satu sekuel dalam film itu penulis teringat ungkapan “Dia memulai perang karena wanita”. Film itu menggambarkan seorang raja yang karena kecintaannya kepada seorang wanita dia rela mengorbankan ribuan nyawa untuk mendapatkan yang diinginkannya. Cinta yang menyebabkan Raja bertindak di luar dari nalarnya, Cinta yang menjadi Tiran untuk rakyatnya. Tetapi tidak semua yang penulis sebut itu berlaku untuk kasus yang lain. Sebab ada sesuatu yang memang karena cinta kita harus mempertahankannya sepanjang hal itu adalah sesuatu yang Haq. Misalnya kecintaan para sahabat untuk Nabi sehingga berperang dan rela menjadi perisai untuk Nabi. Lanjut dari pembahasan sebelumnya yaitu sesuatu yang tidak di cintai oleh tuhan. Dalam buku The Road to Allah kang jalal (Prof. Jalaluddin Rakhmat) menyebut yang pertama mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melampaui batas misalnya mengejar musuh yang sudah lari dari medan perang. Ke dua orang-orang yang berlebihan, beda konotasi dari yang pertama yang dimaksud kang jalal di sini adalah segala sesuatu yang berlebihan misalnya yang terlampau kenyang ketika makan (mungkin penulis). Bahkan dideskripsikan seperti suara keledai maksudnya adalah orang yang hanya bersuara keras ketika membela kepentingan dirinya, golongannya, tetapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Dan yang ke tiga zalim adalah orang berbuat tidak adil.
Ramadhan kali ini adalah momentum untuk merefleksikan kembali arti kecintaan kita. Cinta kepada ilahi, cinta kepada kekasihnya dan cinta kepada sesama mahluknya. Pembelajaran kita untuk mencintai pada dasarnya memiliki tuntunan yang jelas, bahwa kita mesti belajar mencintai sesuatu yang konkret atau lahiriah sebelum mencintai hal-hal yang bersifat abstrak. Untuk belajar agar mampu mencintai, kita mesti belajar dari dimensi terkecil: Dengan mencintai pasangan kita, keluarga, sahabat, kendaraan, atau apa saja yang kita miliki. Hal itu adalah perumpamaan kecintaan yang dimiliki oleh anak kecil yang merupakan tahap dasar. Seterusnya kita harus mengembangkan kepribadian kita ke tingkatan yang lebih baik. Pada saat itulah kita dapat menempuh pelajaran yang lebih tinggi agar tidak terjebak dengan hanya mencintai sesuatu yang konkret. Kita mesti berusaha mencintai hal-hal yang bersifat abstrak, Sebagaimana hadist yang sangat terkenal meriwayatkan sabda Nabi Muhammad Saw: “Cintailah allah atas anugerahnya kepadamu, Cintailah aku atas kecintaan allah kepadaku, dan cintailah keluargaku atas kecintaanku kepada mereka”. Dalam hadist ini Rasulullah Saw. Menurunkan tiga kecintaan; Kepada Allah SWT., Rasulullah Saw., dan Ahlul bait nabi. Rasullah mengajari kita untuk meninggalkan kecintaan pada hal-hal yang konkret dan menuju kecintaan pada hal-hal yang abstrak. Atau Imam al ghazali dalam ihya ulumuddin, menyatakan adalah sebuah kebohongan besar orang yang mengaku mengaku mencintai Allah Swt., Tetapi ia tidak mencintai rasulnya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasulnya tetapi tidak mencintai kaum fakir dan miskin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah tetapi ia tidak mau menaati perintahnya”. Semua itu pada hakekatnya mengajari kita untuk mencintai hal-hal yang abstrak.
Oleh sebab itu penulis berharap agar semestinya kita semua intropeksi diri di bulan yang suci ini. Mengawali Ramadhan dengan niat yang suci dan Insya allah mengakhiri dengan jiwa yang fitri. Bulan ini adalah momentum untuk merenungkan kecintaan kita kepadanya. Dan kewajiban kita adalah untuk saling menyeru pada kebaikan sebagai manifestasi atas kecintaan terhadapnya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk kecintaanku kepada senior sekaligus guru dalam belajar, Orang tua yang selalu menasehati pada kebaikan, Sahabat yang mengakhlaki di saat khilaf, dan tidak lupa untuk calon ibu untuk anak-anakku kelak. Amin. J

Bersambung……


Kamis, 23 Juni 2011

“Pahlawan devisa sebuah tanda & masa depan negeri ini” (coretan untuk para pahlawan devisa).

Tenaga kerja Indonesia atau biasa disingkat TKI adalah warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri dengan profesi yang beragam. Para tenaga kerja Indonesia ini mendapatkan julukan “pahlawan devisa”. Alasan yang menjadi rasionalisasi sehingga predikat sebagai pahlawan devisa disematkan kepada para TKI  ini tidaklah berlebihan. Devisa yang terdiri atas valuta asing yang bisa menjadi alat pembayaran Internasional, Sebahagian besar bersumber dari kuantitas warga Negara yang mengadu nasib di luar negeri. Kontribusi material ini yang menjadi landasan filosofis. Tetapi aksiomatisnya ketika mereke digelari “pahlawan devisa” tapi justru di sisi lain hak mereka sebagai warga Negara yang dideklarasikan sebagai “pahlawan devisa” didiskriminasikan. Konotasi dari kata pahlawan kontradiktif dengan nasib para TKI yang kenyataannya sisi kemanusiaan mereka digerogoti. TKI ibaratnya komoditi yang dikomersialisasi dan tidak lebih hanya dipandang sebagai rupiah yang mengisi kas Negara. Substansi dari kata pahlawan adalah sebuah kamuflase untuk mengelabui publik terhadap bagaimana sebenarnya nasib para TKI di luar negeri. Oleh sebab itu kalau pemerintah mau mendeklarasikan para TKI sebagai pahlawan devisa, seharusnya tegas mengambil langkah-langkah konkret dalam menjamin hak dan memberikan perlindungan secara konstitusional.
 Para “pahlawan devisa” perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar seyogiyanya hak mereka untuk mendapatkan perlindungan dari Negara tidak terabaikan. Sayangnya realita hari ini menunjukkan secara kasat mata para “pahlawan devisa” diibaratkan dalam sebuah peribahasa “bagai kacang yang lupa akan kulitnya”. Negara hanya menggeruk keuntungan dari para “pahlawan devisa” tanpa bisa memberikan sebuah balas jasa. Negara tidak mampu memberikan jaminan terhadap hak kontitusional para “pahlawan devisa”. Banyaknya tenaga kerja yang mengalami nasib buruk mulai dari kasus penganiayaan sampai yang di giring ke jalur hukum menjadi parameter bahwa Negara dalam hal ini pemerintah gagal dalam menjamin hak warga negaranya. Bukankah Negara bertanggung jawab dalam menjamin hak setiap warga negaranya sebagaimana tercantum dalam UUD. Ataukah mereka para “pahlawan devisa” bukan warga Negara yang juga semestinya mendapatkan perlindungan hukum,? Sehingga pemerintah seolah lepas tangan dalam menangani berbagai permasalahan yang menyandung para “pahlawan devisa”.
                Sebenarnya permasalahan para “pahlawan devisa” ini adalah lagu lama mengingat sebelumnya banyak kasus yang sama mencuat di media. Ruyati yang telah dieksekusi hukuman pancung dan darsem yang harus membayar denda sebesar 4,6 milyar hanyalah sekian dari banyaknya para “pahlawan devisa” yang mengalami nasib yang sama. Dari kasus ini muncul beragam argumen dari pihak yang berwenang menangani permasalahan ini. Mulai dari wakil rakyat kita yang terhormat sampai duta Internasional yang mendeklarasikan dirinya sebagai pejuang hak asasi manusia. Tetapi sekian dari argument tersebut banyak yang memberikan penjelasan tapi tidak mampu menjawab ekspektasi publik. Salah satu argument yang pernah penulis dengar dari salah seorang pembicara di media yang mengatakan “di Malaysia kebanyakan kasus yang menyandung para TKI adalah kasus narkoba”, entah sumbernya valid atau tidak yang jelas kontradiktif dengan media yang merupakan parameter utama sebab menyajikan data empiris bagaimana para “pahlawan devisa” kebanyakan adalah korban penganiayaan. Komentar para pemilik kewenangan dalam menangani permasalahan ini bagaikan pepesan kosong, makanya wajar jika ada yang menjustifikasi bahwa ditengah carut marutnya perlindungan HAM terhadap para “pahlawan devisa” banyak muncul “pahlawan kesiangan”. Mereka seolah-olah memberikan kontribusi terhadap penegakan dan perlindungan HAM tapi mereka sendiri lupa siapa diri mereka dan apa kapasitasnya. Apalagi jika dibenturkan dengan realitas yang mencuat di media hari ini, ratusan “pahlawan devisa” terancam hukuman mati. Ironis memang!
                Dengan memperhatikan kondisi yang tengah terjadi sampai saat ini. Muncul beragam pertanyaan, apakah kondisi ini akan terus dibiarkan berlarut-larut? Apa yang salah dari munculnya banyak permasalahan yang menyandung para “pahlawan devisa”? Siapa yang bertanggung jawab? Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk mengobati luka para “pahlawan devisa”. Penulis yakin bahwa banyak yang bisa merumuskan permasalahan yang dialami oleh para “pahlawan devisa”, tetapi implementasi untuk menyelesaikan permasalahan ini yang menjadi kendala besar. Yang jelas pemerintah tidak boleh tinggal diam, apalagi kondisi intern Negara saat ini dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pada saat permasalahan ini diupdate ke media masih banyak permasalahan nasional yang juga tidak boleh lepas dari perhatian publik. Hegemoni media dalam menentukan opini publik sangat rentan membuat publik lepas perhatian dari kasus lainnya. Bahkan penulis bisa berspekulasi jangan sampai kasus “pahlawan devisa” dijadikan pengalihan isu dari kasus lainnya, mengingat bahwa banyak permasalahan yang sampai hari muncul dan bermuara ke istana Negara.
                Tetapi terlepas dari semua hal tersebut  yang menjadi topik diatas tentang nasib para “pahlawan devisa” tetap tidak boleh lepas dari perhatian. Sebab ini adalah salah satu parameter keberhasilan sebuah pemerintahan. Bagaimana citra bangsa kita di mata Internasional diterjemahkan oleh nasib dan perlakuan yang diterima oleh warga Negara yang berada diluar negeri. Oleh sebab tulisan ini hanya mendeskripsikan apa yang terjadi dan kemungkinan hanya menaikkan tensi pesimisme jika kita memperhatikan kesenjangan antara harapan dan realisasi yang masih menganga lebar. Tetapi itu bukanlah alasan pembenar untuk apatis melihat fenomena yang telah terjadi. Negara dalam hal ini pemerintah harus punya tekad kuat untuk melakukan berbagai langkah konkret. Khusus yang berwenang dalam menangani persoalan ini supaya lebih responsive dalam melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir pelanggaran HAM yang melanda para “pahlawan devisa”. Dan penulis ingin menekankan bahwa kita semua tidak boleh berputus asa, setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Tidak jadi masalah kita kritis terhadap setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini, yang jelas kritik yang membangun. Imam ali k.w pernah berkata “orang yang merugi adalah orang yang panjang angan-angan” relevansinya adalah kita tidak semestinya hanya berkutat di tataran wacana dibutuhkan langkah praktis untuk setiap pemasalahan yang ada. Dan sebelum turun ke tataran praktis penulis merumuskan berapa langkah solutif yang mesti ditempuh secara tegas oleh pemerintah.
Ø  Membuka lapangan kerja
Merupakan sebuah kepastian bahwa kurang tersedianya lapangan kerja menyebabkan banyak warga Negara mencoba peruntungannya di luar negeri. Sebuah hegemoni bahwa dengan bekerja di luar negeri dapat keluar dari jeratan ekonomi sebab di luar negeri banyak tersedia lapangan kerja. Oleh sebab itu pemerintah perlu mengambil sikap dan tindakan yang tidak lagi membela kepentingan kelompoknya, tetapi beorientasi bagaimana menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat. Apalagi pada hakekatnya bangsa ini adalah sebuah bangsa yang kaya akan sumber daya alam, Tinggal bagaimana memoles sumber daya manusia yang kompetitif. Khusus untuk para warga Negara yang berminat mengadu nasib di luar negeri agar pemerintah memberikan keterampilan yang memadai. Mulai dari rekruitmen tenaga kerja harus selektif bukan karena yang bermodalkan keberanian. Tetapi sebelum berpikir kearah tersebut yang paling utama adalah bagaimana menyiapkan lapangan kerja dalam negeri. Bagaimana agar perusahaan nasional dan asing dapat menyerap tenaga pribumi “warga Negara”.
Ø  Penegakan supremasi hukum dan HAM.
Penegakan supremasi hukum dan HAM kita berbicara tentang sistem. Sesuatu yang abstrak tetapi sangat berpengaruh dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik good governance. Pemerintahan yang baik menjamin masyarakat akan hidup makmur, sejahtera, dan keadilan yang sama di mata hukum. Tidak ada diskriminasi dan diferensiasi dalam penegakan hukum dan HAM. Oleh sebab itu pemerintah semestinya mengambil langkah tegas misalnya dalam hal pemberantasan korupsi, keberanian untuk menerapkan hukuman mati terlepas dari pro kontranya dari perspektif penulis merupakan keseriusan pemerintah untuk penegakan hukum. Khusus untuk pelanggaran HAM pemerintah perlu membenahi internal birokrasi sebab sampai hari ini saja masih banyak pelanggaran HAM yang belum selesai. Dan sangat susah penulis mendeskripsikan satu persatu mengingat permasalah sudah saling tindih. Para “pahlawan devisa” banyak yang tersandung kasus hukum olehnya itu pemerintah perlu menempuh kebijakan yang implementatif. Hubungan diplomatis dengan Negara lain mesti dibenahi mengingat Negara ini seperti telah kehilangan wibawa di mata internasional.  Relevansi antara penegakan hukum dan HAM dengan kasus yang menimpa para “pahlawan devisa” ibarat dua sisi mata uang. Selain intropeksi diri dengan membenahi kasus nasional yang sebenarnya hal ini yang banyak menelantarkan rakyat (baca:koruptor), Pemerintah perlu memberi perhatian khusus kepada para “pahlawan devisa” terkait dengan dilanggarnya sisi kemanusian mereka maupun haknya sebagai warga negara.
Ø  Memutuskan hubungan Bilateral
Mungkin sedikit agak ekstrem tetapi ini bukanlah sebuah hal yang mustahil dan tidak masuk akal. Pemerintah harus tegas dalam bertindak. Kita masih ingat pidato Ir. Soekarno “Ganyang Malaysia” mengingat bahwa Negara tetangga ini yang paling sering membuat ulah. Mulai dari menggannggu kedaulatan nasional dengan mengklaim dan merebut pulau yang merupakan wilayah kedaulatan Indonesia sampai penyiksaan para “pahlawan devisa”. Bahkan kejengkelan rakyat berimbas dengan memplesetkan nama negaranya menjadi “Malingsial”. Negara ke dua yang juga sering melakukan hal yang sama adalah Saudi Arabia. Penulis bisa menyebut negaranya dengan sebutan “Barat Saudi” karena kondisi sosial masyarakatnya yang tidak lagi mencerminkan bahwa di sinilah tempat lahir kanjeng nabi. Sama  halnya dengan “malingsial” Negara ini juga adalah sebuah Negara monarki, entah apakah monarkinya yang salah tetapi yang jelas mereka memperlakukan para TKI secara tidak manusiawi, menggunting bibir para “pahlawan devisa” dan berbagai bentuk penyiksaan sejenisnya. Ini bukanlah subjektifitas penulis tetapi sebuah fakta yang tampak secara kasat mata. Di mata mereka bangsa Indonesia kemungkinan besar dianggap sebagai “negeri para budak”. Olehnya itu ketegasan keberanian dan ketegasan pemerintah merupakan sebuah kepatutan. Lagi pula masih banyak Negara yang sangat representative untuk menjalin hubungan kerjasama internasional dengan Indonesia. Ataukah selamanya bangsa ini akan diperlakukan demikian.!?
Tulisan ini hanya mendeskripsikan bagaimana kondisi dan langkah apa yang semestinya ditempuh oleh pemerintah. Tetapi yang paling urgen adalah apa yang dilakukan pemerintah hari ini harus mampu menjawab ekspektasi publik. Pemerintah harus memberikan rasa keadilan kepada setiap warga negaranya. Jika kondisi hari ini ke depan terus mengalami stagnasi, akan banyak muncul kekhawatiran Negara sedang mengarah pada sebuah pintu gerbang yang bernama “revolusi”. Pemerintah harus sadar bahwa masyarakat sudah jenuh dengan kebohongan dan sandiwara para aktor negeri ini. Pemikiran masyarakat mengalami terus mengalami peningkatan, atau mengutip ungkapan pak mahfud md “Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri.” Bisa disimpulkan ke depan people power bukanlah suatu hal yang mustahil. Ingat bahwa dunia telah berjalan menuju kesempurnaannya dan kesempurnaan itu akan ditandai  dengan sebuah “letupan revolusi”. Opini ini bukan hanya dari sudut pandang penulis tetapi yang jeli melihat persoalan dan kondisi hari ini bisa memprediksikan bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Kita hanya bisa berharap supaya perjalanan yang telah kita lalui dapat menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan. Bangkitlah negeriku..!!!

“Selamat datang wahai engkau yang dinantikan kedatangannya”

Minggu, 19 Juni 2011

“Jujur itu ibarat tumpukan barang bekas.?

Ungkapan inilah yang akhir-akhir ini menghiasi headline media “suarakan kejujuran”. Hal ini menjadi opini publik dimulai dari kasus contek massal yang terjadi di SD Gadel 2, Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Seorang anak kelas 6 SD yang bernama “Alif Achmad Maulana” pada saat ujian nasional diintervensi untuk membagikan jawaban kepada temannya, Alif yang tidak menerima diperlakukan demikian dan melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang tuanya. Siami orangtua alif yang kecewa putranya diperlakukan secara tidak adil mengambil tindakan tegas dengan berani membawa kasus ini ke media massa. Setelah diberitakan, kasus ini sampai ke telinga Walikota Surabaya. Kasus ini pun diproses. Berbagai tanggapan muncul setelah kasus ini mencuat. Termasuk dari wali murid lain yang menuding Siami tidak punya nurani dan sok pahlawan. Justru aneh ketika seorang ibu berani melaporkan kejadian ini atas dasar adanya ketidakjujuran bukannya mendapat apresiasi tetapi hujatan. Dan justru semakin mempertegas bahwa rakyat atau sebagian masyarakat selain apatis juga mengalami dekadensi etika dan moral, tidak bisa membedakan yang mana baik dan yang mana buruk. Entah hal ini berakar darimana yang jelas ini adalah fakta dan keanehan sosial yang tengah terjadi. Kecurangan lebih dihargai sepanjang mampu mengakomodir kepentingan sekelompok orang. Dan faktanya bahwa alif adalah murid yang lulus dengan nilai tertinggi diantara semua teman-temanya yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses ujian nasional. Bahkan ironisnya alif dan keluarganya mengungsi sebab mendapatkan perlakuan yang amoral dari lingkungannya. Entah ini karena ada kecemburuan sosial ataukah memang masyarakat kita sudah gila ditengah-tengah kegilaan sosial. “Jujur” yang merupakan sebuah harga mati kok ga diapresiasi tapi justru dihujat. Aneh.??!!!
                Lain halnya dengan sikap yang diambil oleh Mendiknas Muhammad Nuh yang  sempat menyatakan kekagumannya terhadap kejujuran dan keberanian Ibu Siami dan anaknya, yang menyebabkan skandal di dunia pendidikan dasar itu terbongkar. Tetapi beberapa hari kemudian menyatakan sikap dan tindakan yang kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya  bahwa setelah ditelusuri berdasarkan pola jawaban dari siswa kelas 6 SD gadel 2 tidak ada bukti adanya contek massal. Jadi kesimpulannya adalah bahwa alif yang merupakan seorang anak kelas 6 SD yang masih lugu berbohong. Hal ini diperkuat pula dengan keterangan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur bahwa tidak ada contek massal. Ya sebelum menjustifikasi yang mana berbohong apakah “alif” yang seorang bocah lugu ataukah bapak mendiknas yang merupakan seorang prof, ada beberapa pertanyaan yang agak sedikit menggelitik salah satunya “Kenapa bapak Mendiknas berubah dalam menyikapi dan membuat keputusan, Jangan-jangan motifnya Cuma karena mau menyelamatkan proyek yang bernama UNAS itu.!!? Sebuah kamuflase besar-besaran.! Atau biarlah Hati nurani kita yang menilai karena terkadang sesuatu yang tidak logis menjadi logis jika kita hanya menilai dari sisi luarnya. Yang jelas penulis ingin menegaskan bahwa di negeri ini kejujuran itu ibaratnya tumpukan barang bekas yang hanya sesekali dibutuhkan. Ironis memang.!!
Kasus inipula menyedot berapa perhatian tokoh nasional yang justru berlomba-lomba memberikan apresiasi, terlepas  apa motif dari apresiasi tersebut yang jelas hal ini kontradiksi dengan sikap para tokoh nasional yang menyikapi berbagai permasalahan besar di negeri ini. Termasuk sibeye yang juga tidak mau ketinggalan memberikan apresiasi yang justru dia tidak sadar kalau lingkungannya sendiri banyak orang jujur yang mau diapresiasi “ironi”.! Diapresiasi kejujurannya dalam membela kepentingan dan popularitas partai. Saking langkanya ini barang “Kejujuran” para politisi kita yang setiap hari yang wajahnya menghiasi media terang-terangan saling mengklaim “Maling teriak maling”. Pemandangan ini bukanlah sebuah kelucuan, tetapi sudah memuakkan. Entah bagaimana masa depan negeri ini jika generasinya saja baru seumur jagung sudah diajari menjilat (baca: mencontek). Jadi wajar kalau ada adagium “kejujuran itu barang langka” atau coba kita bercermin pada diri kita sendiri! Pernahkah kita mempertanyakan apa yang saya dapat atau yang saya terima hari ini dari orang tua kita, sudah dipertanyakan asal-usulnya.!? Jangan sampai kita terbentur dengan sebuah pepatah yang menyatakan “Gajah di pelupuk mata kelihatan tapi Kuman di seberang lautan kelihatan”.
Ya mungkin itu sedikit deskripsi mengenai realita tentang kejujuran di negeri ini, lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana menanamkan sejujuran itu menjadi sebuah karakter agar ke depan kondisi negeri ini bisa lepas dari lingkaran setan. Satu hal yang penulis ingin tekankan bahwa sikap jujur adalah budaya para pendahulu kita, budaya negeri ini, etika para filsuf. Tetapi warisan ini adalah sebuah pilihan apakah kita mau mewarisinya ataukah kita mengonggok “kejujuran itu ibarat barang bekas.?! Tergantung pilihan kita dan saya yakin bahwa kejujuran itu adalah konsekuensi dari pengetahuan dan keberimanan seseorang terhadap sang khalik. Jadi hemat penulis ada beberapa langkah untuk menyuarakan kejujuran menjadi sebuah karakter.
·         Moral education (Pendidikan Moral)
Kejujuran sangat erat kaitannya dengan pendidikan moral, jadi sejak dini para generasi penerus bangsa ini harus digembleng dengan pendidikan moral khususnya yang bersumber dari agama dan Pendidikan pancasila. Tetapi ironisnya pelajaran agama baik di sekolah maupun diperguruan tinggi hanya mengajarkan agama dua jam/minggu. Plus sistem pendidikan kita yang sekuler  menjadi penghalang untuk menanamkan pendidikan moral kepada kaum terdidik. Jadi ke depan kita seharusnya segera memperbaiki sistem dan mengevaluasi pendidikan di Indonesia. Standarisasi yang selalu berorientasi kenilai menjadikan para pendidik dan terdidik menjadi pragmatis.
·         Family education (Pendidikan keluarga)
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang paling mempengaruhi karakter dan kepribadian seorang anak adalah keluarga. Watak dan kepribadian kita menterjemahkan bagaimana orang tua kita mendidik sejak usia dini. Mungkin masih sangat erat kaitannya tadi dengan yang pertama mengenai pendidikan moral, tetapi pendidikan dikeluarga lebih bervariatif. Lingkungan social kita yang pertama adalah keluarga. Tentang bagaimana bersosialisasi, bekerjasama, menaruh kepercayaan pada orang lain di mulai dari lingkungan keluarga. Jadi peran keluarga untuk mendidik seorang anak menjadi jujur sangatlah urgen. Bahkan nabi pernah bersabda “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum dia lahir”.
·         Local wisdom (Nilai-nilai kearifan lokal)
Satu lagi yang tidak boleh luput dari perhatian untuk membangun karakter yang jujur adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kearifan lokal. Banyak hal dan pelajaran yang bisa kita gali dari budaya dan warisan para pendahulu kita. Dan sangat bermanfaat jikalau nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja petuah orang tua kita yang dalam bahasa bugis kurang lebih bunyinya seperti ini “Taro ada taro gau atau Satunya antara kata dan perbuatan”. Kita selalu dituntut untuk berperilaku jujur. Bagaimana menjadi pribadi yang konsisten terhadap ucapan dan perbuatan agar selalu selaras merupakan warisan dari nilai-nilai kearifan lokal. Jikalau hal ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka konsekuensinya adalah akan ada harmonisasi dalam menjalani kehidupan. Tidak akan muncul sembarang fitnah, kecemburuan social atau hal-hal lain yang bisa mengganggu hubungan horizontal kita terhadap sesama. Dan masih banyak nilai-nilai yang dapat kita gali guna menjalin hubungan baik secara personal maupun ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Mungkin ini hanya sekian dari banyaknya solusi yang bisa kita deskripsikan satu persatu. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana menanamkan karakter yang jujur haruslah aplikatif dalam artian bahwa sikap dan tindakan kita harus menterjemahkan bahwa kita adalah pribadi yang jujur. Saya pribadi bukanlah oknum yang pesimis melihat masa depan bangsa ini! Ditengah-tengah kita sesungguhnya masih ada yang menjunjung tinggi sakralnya sebuah kejujuran. Tetapi selalu saja ditutupi kabut tebal yang bernama “kepentingan”, kepentingan kelompok dan individu. Jadi langkah sederhananya adalah mari kita berbuat mulai dari tiga hal yakni dari diri sendiri, saat sekarang, dan hal-hal kecil. Selain itu bagaimana mendahulukan kepentingan umum diatas pribadi bahkan dalam hubungan personal saja misalnya orang pacaran kejujuran adalah sebuah hal yang sangat penting. Langgeng tidaknya sebuah hubungan tergantung bagaimana karakter dari aktor yang menjalani, jujur atau tidak.!? Atau kesimpulannya semakin kompleks lingkungan kita maka kejujuran itu harus dijunjung tinggi untuk mencapai tujuan.!!!

“Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit”

Jumat, 22 April 2011

Bacaan Faforit

Buku Bacaan Favorit:

  1. Pengantar epistemologi
  2. Falsafahtuna
  3. Filsafat Islam
  4. Pengantar logika
  5. logika
  6. Rindu rosul
  7. Ringkasan Logika Muslim
  8. Keadilan Ilahi
  9. The road to allah
  10. Ayat-ayat semesta
  11. Free will dan determinisme
  12. Rekayasa sosial
  13. Dahulukan akhlak diatas fiqh
  14. Belajar cerdas
  15. Pemimpin semesta
  16. Esq (Emotional spiritual qoutien)
  17. Sang pemimpin (Jim clammer)
  18. Tanyalah aku sebelum kau kehilangan aku (Kumpulan kata-kata mutiara Imam ali K.W)
  19. Shalat ahli makrifat
  20. Wasiat ibn arabi

Sabtu, 16 April 2011

Masyarakat madaNi sebuah Utopia atau orientasi ideal.?

Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada orientasi yang ingin dicapai yakni sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Tatanan masyarakat tentu berangkat dari sebuah landasan atau apa yang dipahami oleh masyarakat itu sendiri. Sadar atau tidak sadar tingkah laku kita dalam keseharian dibingkai oleh sebuah landasan atau World view (Pandangan dunia) terhadap realitas. Jadi kesimpulannya adalah tatanan sebuah masyarakat dilandasi dari pandangan dunia mereka atau dalam artian konsepsi apa yang mereka pahami dan terapkan. Salah satu antitesa dari pandangan dunia yang menyusun tatanan kehidupan bermasyarakat adalah sistem. Sistem yang saya maksud di sini adalah alat & cara yang digunakan dalam menyusun sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Akhir-akhir ini kita biasa mendengar istilah "Masyarakat madani" yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), Istilah ini dikonotasikan sebagai sebuah orientasi masyarakat yang ideal sebuah tatanan masyarakat yang dapat menjamin keadilan dan kesajahteraan masyarakat. Jikalau masyarakat madani adalah sebuah tatanan yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat, maka wajar jika hal ini sudah menjadi orientasi masyarakat. Tapi jauh sebelum membahas seperti apa dan bagaimana masyarakat madani itu sendiri mungkin lebih bijak jika kita meninjau berakar dari mana sebenarnya konsep ini dan apakah pernah terwujud sebagai sebuah realitas sosial yakni masyarakat madani.?!
Dari salah satu sumber menyatakan bahwa istilah masyarakat madani (civil society) pertamakali diperkenalkan oleh  Cicero (106-103 SM) yang dalam filsafat politiknya dikenal dengan istilah societies civilis yang identik dengan Negara. Dan dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan Negara serta keterikatan dengan nilai-nilai norma hukum yang dipatuhi masyarakat. Adapun karateristik dari masyarakat madani diantaranya adalah tegaknya supremasi hukum, untuk pembahasan kali ini saya akan konsentrasi pada analisis supremasi hukum bukan karena hal ini adalah  kebetulan merupakan disiplin ilmu saya tetapi merupakan hal yang sangat substansi dan urgensinya dalam pembahasan masyarakat madani tidak boleh dinomor kesekiankan. Supremasi hukum dalam masyarakat madani adalah upaya untuk meberikan jaminan keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang atau badan hukum memiliki kedudukan  dan perlakuan yang sama atau dalam hukum dikenal satu azas yaitu azas before the law (semua sama di mata hukum). Jadi dalam masyarakat madani tidak ada diskriminasi dan diferensiasi dalam penegakan hukum. Tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum, yang jelas siapa yang melanggar hukum harus diadili. Penegakan supremasi hukum dalam masyarakat madani tidak memandang predikat yang melekat kepada satu individu, lembaga atau apa saja yang masuk dalam kategori subjek hukum, entah yang melanggar itu .adalah seorang Presiden, Menteri, Ustadz, tukang becak, Mahasiswa atau penegak hukum itu sendiri harus diadili. Justru yang dikedepankan adalah Seseorang yang tahu hukum harus mendapat hukuman yang lebih dalam artian karena kesadarannya akan konsekuensi dari pengetahuannya. penegakannya tidak bersandar pada kebenaran prosedur tetapi bersandar pada kebenaran substansi. Realitas ini merupakan sebuah keniscayaan dalam bingkai tatanan masyarakat madani yang mesti terwujud. Hal ini hanyalah satu pembahasan mengenai parameter masyarakat madani sebuah konsepsi objektif. Masih banyak parameter yang bisa kita analisis dalam masyarakat madani Misalnya, free public sphere (ruang publik yang bebas), Demokratisasi, Pluralisme, Keadilan sosial (social justice), Partisipasi sosial dan parameter lain yang merupakan sebuah persyaratan untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat madani.
Tetapi saya berkayakinan dari parameter yang kita rumuskan diatas muncul kesan bahwa masyarakat madani adalah sebuah hal yang sangat sakral yang kemungkinan jika dibenturkan dengan realitas sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat hanya akan menimbulkan naiknya tensi pesimisme dan derajat kefrustasian atau hal ini relevan dengan salah satu pesan anekdot dari salah seorang senior "Jangan terlalu banyak memikirkan nasib indonesia, nanti umurmu pendek" ada semacam ironi dan pesimisme yang ditujukan terhadap realitas yang telah terjadi. Terus yang menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat madani adalah solusi yang implementatif yang mampu memberi jalan keluar untuk berbagai bentuk permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia.? Bagaimana konsepsi masyarakat madani dan bagaimana mewujudkannya dalam sendi kehidupan bangsa,? Siapa yang mesti terlibat dan seperti apa aktor yang kita butuhkan? dan berbagai pertanyaan lain yang mungkin mengusik hati kecil kita. Masyarakat madani bukanlah penghakiman sebuah masyarakat yang mesti dicapai tetapi minimal kalau bangsa ini bisa mendekati perwujudan masyarakat madani kenapa tidak? Hal ini bukanlah kecenderungan sakralisasi terhadap wujud dari masyarakat madani tetapi memang dalam kenyataannya saat ini kesenjangan antara realisasi dan harapan masih menganga lebar. Wujud masyarakat madani bukanlah alasan untuk berhenti bertindak tetapi sebuah orientasi ideal yang mesti dicapai.
Masyarakat madani, pernahkah terwujud.?
Tinjaun historis menunjukkan bahwa sebuah tatanan masyarakat madani pernah terwujud. Di zaman Rasulullah SAW, direkonstruksi sebuah tatanan masyrakat, dimana sebelum mewujud menjadi masyarakat madani kita mengenal "Zaman jahiliyah" di mana bangsa arab mengalami dekadensi peradaban atau jahiliah dalam arti kata zaman kegelapan. Rasulullah mendesain sebuah tatanan masyarakat yang mencapai puncak peradabannya atau dalam persfektif Nurcholis majid memberikan landasan normative dengan menunjukkan kehidupan masyarakat madinah sebagai prototipe sebuah sampel masyarakat modern yang berperadaban. Secara argumentatif Cak nur (Panggilan akrab Nurcholis majid) mengungkapkan masyarakat madani secara konsepsional. Istilah "madinah"  diartikannya "kota" tetapi secara etimologis perkataan itu mengandung makna peradaban dinyatakan dengan kata "maddaniyah" atau "tamaddun" dari akar kata inilah kita mengenal kata madani. Tindakan rasul untuk berangkat dari perubahan nama yastrib sebelum berubah menjadi madinah sebab yastrib sebuah nama yang mengandung konotasi pagan. Menjadi madinah pada hakekatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi bahwa beliau akan mendirikan dan mebangun masyarakat beradab dalam struktur komunitas masyarakat madinah. Realitas sosial pada zaman rasul meninggalkan data historis bagaimana kehidupan masyarakat pada saat itu, masyarakat arab jahiliyah yang sebelumnya tidak mengenal hukum (lawless) di bentuk menjadi sebuah masyarakat yang mengenal hukum. Produk hukum yang ditinggalkan rasul adalah bukti bahwa tatanan masyarakat madani pernah mewujud, sekian diantaranya adalah perjanjian hudaibiyah atau kita lebih kenal dengan istilah piagam madinah. Salah satu produk hukum modern karena model dan isinya kurang lebih inilah yang diadopsi menjadi undang-undang dasar kita.Coba cek.?! Dan pada saat itu masyarakat dapat hidup sejahtera, damai, berdampingan walaupun mereka hidup dalam masyarakat heterogen.
Berangkat dari fakta sejarah diatas dan melihat realitas sosial yang berkembang dimasyarakat, maka sebuah tuntutan dan keniscayaan untuk melakukan sebuah pembaharuan. Melakukan pembiaran atau hanya diam merupakan bentuk persetujuan pasif akan hal tersebut. Kita mesti menyusun sebuah konsepsi dasar untuk melepas bangsa dari belenggu jahiliyah modern, langkah awal adalah menghilangkan sikap pesimisme dan apatis. Mulai dari hal-hal terkecil, sebab perubahan besar adalah kumpulan dari perubahan-perubahan kecil. Saya melihat wacana ini bukanlah wacana politik yang mendikotomikan antara maksud dan aturan baku yang ada dalam masyarakat (Negara) yang kontradiksi dengan konsepsi ini. Bukan pula sebuah bentuk pemaksaan otoritas yang dikonotasikan sebagai sebuah hal yang mustahil dan ada nada pemberontakan, walaupun memang saya lebih bangga jika dicap sebagai pemberontak (kontra status quo), karena dalam persektif saya bahwa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini adalah sebuah kebohongan (kamuflase). Kepentingan individu, kelompok lebih dominan daripada kepentingan yang bisa dinikmati oleh semua orang. Dosa sosial akan kita nikmati nanti jika selama ini hanyalah pembiaran. Melalui tulisan ini pula saya mendeklarasikan pemberontakan saya terhadap sistem yang berlaku di masyarakat (Negara) ini. Oleh sebab itu melaui tulisan ini pula akan menginspirasi partispasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa dan merupakan awal yang baik untuk mewujudkan masyarakat madani.
Langkah praktis yang semestinya diwujudkan adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan keniscayaan untuk mewujudkan keadilan. Disiplin ilmu saya sebagai seorang calon penegak hukum, Insya allah akan menjadi modal untuk mendesain sebuah masyarakat adil makmur. Hal yang kita khawatirkan adalah jikalau penegakan hukum tidak diimbangi partisipasi masyarakat akan membentuk masyarakat tanpa kendali (Laizzesfaire). Jadi kesimpulannya persyaratan satu dengan yang lainnya adalah adalah keterkaitan yang tidak boleh saling lepas fungsi. Dan muara perjuangan kita untuk mebentuk sebuah tatanan masyarakat madani membutuhkan sebuah institusi sosial (Non pemerintahan) yang independen. Institusi ini adalah gerbong untuk menebar benih perubahan. Sebab kata pepatah bahwa "Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir" maka langkah bijak jika analisis dari wacana akan melahirkan riak-riak sosial. Institusi sosial akan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani, jikalau hanya gerakan ego individu hanyalah bentuk onani intelektual, butuh gerakan simultan dan jelas masyarakat madani hanyalah sebuah utopia jika kita belum melepas ego minimal ego individu. Ke depan kita perlu merapatkan barisan melepas ego, menyamakan persepsi dan visi serta menjaga independensi. Maka keyakinan kita untuk mewujudkan masyarakat madani adalah sebuah orientasi Ideal..!!!

Bersambung..???


Salam perjuangan, salam hijau hitam..!!

Amirullah Arsyad

16-04-2011

Jumat, 08 April 2011

filo & sophia

SISTEMATIKA FILSAFAT

A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.

B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.

C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.

Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.