Sabtu, 23 Februari 2013

INTEGRASI DIBALIK TEROPONG FEDERAL ATAU KESATUAN, ADAKAH DIKOTOMI?

Dalam pasal 1 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesiaadalah sebuah Negara yang mendeklarasikan diri sebagai sebuah Negara Kesatuan. Konsekuensi dari sebuah Negara yang berbentuk kesatuan adalah tidak boleh ada Negara dalam Negara atau tidak boleh ada Propinsi yang merasa dirinya bersifat “negara” (Negara Bagian) Sebagaimana bentuk Negara bagian seperti federasi Amerika serikat. Dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa federasi adalah sebuah bentuk tengah, suatu bentuk kompromistis antara konfederasi yang hubungannya tidak erat, dan Negara kesatuan diklaim sebagai sebuah Negara yang kukuh ikatannya. Negara federal menghendaki adanya persatuan (union) tetapi menolak kesatuan. Negara kesatuan mutlak mengorientasikan terwujudnya Persatuan dengan modal kesatuan. Walaupun secara historis Indonesia pernah menjadi sebuah Negara federal tetapi lembaran sejarah yang panjang mencatat bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang umumnya melegitimasi Kesatuan sebagai bentuk Negara. Dari fakta tersebut sekarang muncul pertanyaan sederhana apakah ketika Negara ini sejak berdirinya dihadapkan pada sebuah pilihan bentuk Negara antara Kesatuan atau Federal, Lalu kenapa Kesatuan yang menjadi sebuah pilihan? Di mana dari pilihan tersebut akan muncul konsekuensi yang bisa saja dampaknya sedang kita alami seperti saat sekarang ini?
Menurut penulis bahwa yang menjadi salah satu alasan utama kenapa para founding fathers memilih Kesatuan sebagai sebuah bentuk Negara adalah sebab Indonesia sebagai sebuah Negara yang terdiri dari banyak suku bangsa (Nation State) rentan dengan ancaman perpecahan (disintegrasi). Karena Kesatuan dipahami sebagai sebuah bentuk Negara yang cenderung mewujudkan adanya kesatuan suku bangsa (Integration) maka kesatuan menjadi pilihan. Negara Kesatuan menjadi sebuah indikator utama untuk menghindarkan adanya ancaman disintegrasi, karena Negara kesatuan dipandang mampu menyatukan ikatan primordial beragam suku bangsa. Sebagai sebuah Negara suku bangsa (Nation state) ikatan primordial yang dimaksud di dalamnya adalah Agama, suku, ras, bahasa, budaya dan adat istiadat. Heterogenitas ini yang dipandang perlu formulasi khusus untuk mencegah riak disintegrasi. Terus bagaimana dengan Negara federal, apakah para aktor telah mengalami phobia federal karena Federal dipahami sebagai sebagai sebuah bentuk Negara yang justru dipandang mengancam keutuhan bernegara baik secara teritori maupun secara ideologi atau dengan kata lain Federal tidak mampu mewujudkan sebuah persatuan. Dengan alasan itu kemudian dalam pasal 37 ayat (5) UUD 1945 Mengisyaratkan bahwa mengubah bentuk Negara kesatuan ditafsirkan sebagai sebuah tindakan separatis.
Dengan konteks seperti itu kemudian semua usaha-usaha atau tindakan yang dianggap berorientasi untuk mengubah bentuk Negara diharamkan. Sehingga kesannya paradigma yang terbangun adalah bahwa Indonesia sebagai sebuah Negara  Kesatuan telah sampai pada fase bentuk Negara paripurna.  Padahal kalau kita mau fair menilai bahwa Indonesia sebagai Negara kesatuanpun dalam sejarahnya tidak menjamin keberlangsungan integrasi (persatuan). Fakta empiris mendeskripsikan adanya propinsi yang secara de facto dan de jure menuntut kemerdekaan penuh atau keluar dari kedaulatan NKRI. Pergolakan separatis terus mewarnai perjalanan Indonesia sebagai sebuah Negara kesatuan. Klimaksnya ketika timor timur melalui jajak pendapat pada tahun 1998 telah keluar dari kedaulatan NKRI dan mendekalarasikan kemerdekaannya. Keluarnya timor timur dari kedaulatan NKRI tidak terlepas dari kegagalan Interpretasi Indonesia sebagai sebuah Negara kesatuan. Ini adalah sebuah fakta yang menunjukkan bahwa bentuk Negara sebagai Negara kesatuan tidak serta merta menjamin ketahanan nasional.  
Justru ketika dicermati nuansa integrasi jauh lebih kuat di Negara federal seperti Amerika serikat, Malaysia, Jeman, dan lain-lainnya . Minimnya pergolakan separatis di Negara federal dapat terukur ketika dibandingkan dengan Negara kesatuan seperti Indonesia, Filipina dan Inggris.  Dan hal yang perlu disadari bahwa pemicu munculnya gerakan separatis adalah karena adanya ketidakadilan. Dalam Negara kesatuan seperti di Indonesia terlihat adanya diferensiasi antara satu daerah propinsi dengan daerah propinsi yang lain. Ada propinsi yang tergolong ekslusif misalnya dengan adanya aturan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Ketika aturan ini dibangun di atas pondasi Negara kesatuan maka kesan yang muncul adalah ada diskriminasi antara satu propinsi dengan propinsi yang lain. Misalnya ada daerah yang kontribusinya terhadap APBN tinggi tetapi justru mendapatkan kucuran dana yang tidak setimpal dengan kontribusinya terhadap APBN. Di kondisi seperti ini kemudian ada propinsi yang mengajukan tawaran seperti papua beberapa waktu yang lalu. Tawarannya adalah mengubah bentuk Negara dari kesatuan menjadi Negara federal untuk menghilangkan diskriminasi atau papua keluar dari kedaulatan NKRI. Ini adalah persoalan serius yang mesti di carikan jalan keluar. Apakah dengan konteks seperti ini kita masih akan bertahan pada posisi pro status quo ataukah misalnya mengubah bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal mampu menjawab rentetan persoalan besar bangsa ini? Apakah dengan cara seperti itu mata rantai dari banyaknya permasalahan bangasa ini dapat diputus, Patut direnungkan.