Minggu, 19 Juni 2011

“Jujur itu ibarat tumpukan barang bekas.?

Ungkapan inilah yang akhir-akhir ini menghiasi headline media “suarakan kejujuran”. Hal ini menjadi opini publik dimulai dari kasus contek massal yang terjadi di SD Gadel 2, Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Seorang anak kelas 6 SD yang bernama “Alif Achmad Maulana” pada saat ujian nasional diintervensi untuk membagikan jawaban kepada temannya, Alif yang tidak menerima diperlakukan demikian dan melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang tuanya. Siami orangtua alif yang kecewa putranya diperlakukan secara tidak adil mengambil tindakan tegas dengan berani membawa kasus ini ke media massa. Setelah diberitakan, kasus ini sampai ke telinga Walikota Surabaya. Kasus ini pun diproses. Berbagai tanggapan muncul setelah kasus ini mencuat. Termasuk dari wali murid lain yang menuding Siami tidak punya nurani dan sok pahlawan. Justru aneh ketika seorang ibu berani melaporkan kejadian ini atas dasar adanya ketidakjujuran bukannya mendapat apresiasi tetapi hujatan. Dan justru semakin mempertegas bahwa rakyat atau sebagian masyarakat selain apatis juga mengalami dekadensi etika dan moral, tidak bisa membedakan yang mana baik dan yang mana buruk. Entah hal ini berakar darimana yang jelas ini adalah fakta dan keanehan sosial yang tengah terjadi. Kecurangan lebih dihargai sepanjang mampu mengakomodir kepentingan sekelompok orang. Dan faktanya bahwa alif adalah murid yang lulus dengan nilai tertinggi diantara semua teman-temanya yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses ujian nasional. Bahkan ironisnya alif dan keluarganya mengungsi sebab mendapatkan perlakuan yang amoral dari lingkungannya. Entah ini karena ada kecemburuan sosial ataukah memang masyarakat kita sudah gila ditengah-tengah kegilaan sosial. “Jujur” yang merupakan sebuah harga mati kok ga diapresiasi tapi justru dihujat. Aneh.??!!!
                Lain halnya dengan sikap yang diambil oleh Mendiknas Muhammad Nuh yang  sempat menyatakan kekagumannya terhadap kejujuran dan keberanian Ibu Siami dan anaknya, yang menyebabkan skandal di dunia pendidikan dasar itu terbongkar. Tetapi beberapa hari kemudian menyatakan sikap dan tindakan yang kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya  bahwa setelah ditelusuri berdasarkan pola jawaban dari siswa kelas 6 SD gadel 2 tidak ada bukti adanya contek massal. Jadi kesimpulannya adalah bahwa alif yang merupakan seorang anak kelas 6 SD yang masih lugu berbohong. Hal ini diperkuat pula dengan keterangan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur bahwa tidak ada contek massal. Ya sebelum menjustifikasi yang mana berbohong apakah “alif” yang seorang bocah lugu ataukah bapak mendiknas yang merupakan seorang prof, ada beberapa pertanyaan yang agak sedikit menggelitik salah satunya “Kenapa bapak Mendiknas berubah dalam menyikapi dan membuat keputusan, Jangan-jangan motifnya Cuma karena mau menyelamatkan proyek yang bernama UNAS itu.!!? Sebuah kamuflase besar-besaran.! Atau biarlah Hati nurani kita yang menilai karena terkadang sesuatu yang tidak logis menjadi logis jika kita hanya menilai dari sisi luarnya. Yang jelas penulis ingin menegaskan bahwa di negeri ini kejujuran itu ibaratnya tumpukan barang bekas yang hanya sesekali dibutuhkan. Ironis memang.!!
Kasus inipula menyedot berapa perhatian tokoh nasional yang justru berlomba-lomba memberikan apresiasi, terlepas  apa motif dari apresiasi tersebut yang jelas hal ini kontradiksi dengan sikap para tokoh nasional yang menyikapi berbagai permasalahan besar di negeri ini. Termasuk sibeye yang juga tidak mau ketinggalan memberikan apresiasi yang justru dia tidak sadar kalau lingkungannya sendiri banyak orang jujur yang mau diapresiasi “ironi”.! Diapresiasi kejujurannya dalam membela kepentingan dan popularitas partai. Saking langkanya ini barang “Kejujuran” para politisi kita yang setiap hari yang wajahnya menghiasi media terang-terangan saling mengklaim “Maling teriak maling”. Pemandangan ini bukanlah sebuah kelucuan, tetapi sudah memuakkan. Entah bagaimana masa depan negeri ini jika generasinya saja baru seumur jagung sudah diajari menjilat (baca: mencontek). Jadi wajar kalau ada adagium “kejujuran itu barang langka” atau coba kita bercermin pada diri kita sendiri! Pernahkah kita mempertanyakan apa yang saya dapat atau yang saya terima hari ini dari orang tua kita, sudah dipertanyakan asal-usulnya.!? Jangan sampai kita terbentur dengan sebuah pepatah yang menyatakan “Gajah di pelupuk mata kelihatan tapi Kuman di seberang lautan kelihatan”.
Ya mungkin itu sedikit deskripsi mengenai realita tentang kejujuran di negeri ini, lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana menanamkan sejujuran itu menjadi sebuah karakter agar ke depan kondisi negeri ini bisa lepas dari lingkaran setan. Satu hal yang penulis ingin tekankan bahwa sikap jujur adalah budaya para pendahulu kita, budaya negeri ini, etika para filsuf. Tetapi warisan ini adalah sebuah pilihan apakah kita mau mewarisinya ataukah kita mengonggok “kejujuran itu ibarat barang bekas.?! Tergantung pilihan kita dan saya yakin bahwa kejujuran itu adalah konsekuensi dari pengetahuan dan keberimanan seseorang terhadap sang khalik. Jadi hemat penulis ada beberapa langkah untuk menyuarakan kejujuran menjadi sebuah karakter.
·         Moral education (Pendidikan Moral)
Kejujuran sangat erat kaitannya dengan pendidikan moral, jadi sejak dini para generasi penerus bangsa ini harus digembleng dengan pendidikan moral khususnya yang bersumber dari agama dan Pendidikan pancasila. Tetapi ironisnya pelajaran agama baik di sekolah maupun diperguruan tinggi hanya mengajarkan agama dua jam/minggu. Plus sistem pendidikan kita yang sekuler  menjadi penghalang untuk menanamkan pendidikan moral kepada kaum terdidik. Jadi ke depan kita seharusnya segera memperbaiki sistem dan mengevaluasi pendidikan di Indonesia. Standarisasi yang selalu berorientasi kenilai menjadikan para pendidik dan terdidik menjadi pragmatis.
·         Family education (Pendidikan keluarga)
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang paling mempengaruhi karakter dan kepribadian seorang anak adalah keluarga. Watak dan kepribadian kita menterjemahkan bagaimana orang tua kita mendidik sejak usia dini. Mungkin masih sangat erat kaitannya tadi dengan yang pertama mengenai pendidikan moral, tetapi pendidikan dikeluarga lebih bervariatif. Lingkungan social kita yang pertama adalah keluarga. Tentang bagaimana bersosialisasi, bekerjasama, menaruh kepercayaan pada orang lain di mulai dari lingkungan keluarga. Jadi peran keluarga untuk mendidik seorang anak menjadi jujur sangatlah urgen. Bahkan nabi pernah bersabda “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum dia lahir”.
·         Local wisdom (Nilai-nilai kearifan lokal)
Satu lagi yang tidak boleh luput dari perhatian untuk membangun karakter yang jujur adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kearifan lokal. Banyak hal dan pelajaran yang bisa kita gali dari budaya dan warisan para pendahulu kita. Dan sangat bermanfaat jikalau nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja petuah orang tua kita yang dalam bahasa bugis kurang lebih bunyinya seperti ini “Taro ada taro gau atau Satunya antara kata dan perbuatan”. Kita selalu dituntut untuk berperilaku jujur. Bagaimana menjadi pribadi yang konsisten terhadap ucapan dan perbuatan agar selalu selaras merupakan warisan dari nilai-nilai kearifan lokal. Jikalau hal ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka konsekuensinya adalah akan ada harmonisasi dalam menjalani kehidupan. Tidak akan muncul sembarang fitnah, kecemburuan social atau hal-hal lain yang bisa mengganggu hubungan horizontal kita terhadap sesama. Dan masih banyak nilai-nilai yang dapat kita gali guna menjalin hubungan baik secara personal maupun ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Mungkin ini hanya sekian dari banyaknya solusi yang bisa kita deskripsikan satu persatu. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana menanamkan karakter yang jujur haruslah aplikatif dalam artian bahwa sikap dan tindakan kita harus menterjemahkan bahwa kita adalah pribadi yang jujur. Saya pribadi bukanlah oknum yang pesimis melihat masa depan bangsa ini! Ditengah-tengah kita sesungguhnya masih ada yang menjunjung tinggi sakralnya sebuah kejujuran. Tetapi selalu saja ditutupi kabut tebal yang bernama “kepentingan”, kepentingan kelompok dan individu. Jadi langkah sederhananya adalah mari kita berbuat mulai dari tiga hal yakni dari diri sendiri, saat sekarang, dan hal-hal kecil. Selain itu bagaimana mendahulukan kepentingan umum diatas pribadi bahkan dalam hubungan personal saja misalnya orang pacaran kejujuran adalah sebuah hal yang sangat penting. Langgeng tidaknya sebuah hubungan tergantung bagaimana karakter dari aktor yang menjalani, jujur atau tidak.!? Atau kesimpulannya semakin kompleks lingkungan kita maka kejujuran itu harus dijunjung tinggi untuk mencapai tujuan.!!!

“Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar