Sabtu, 01 Desember 2012

Nasionalisme kulit bundar

Sepak bola adalah sebuah bahasa universal, di mana sepak bola mampu memadukan beragam jenis perbedaan menjadi sebuah harmoni yang indah. Dalam sepak bola perbedaan suku, agama, ras, mampu melebur menjadi satu. Ini adalah salah satu alasan kenapa olahraga ini merupakan olahraga paling terfaforit diantara olahraga yang lain. Bahkan di era modernisasi saat sekarang ini sepakbola telah berkembang menjadi sebuah industry. Sepak bola tidak hanya menjadi sekadar hobi, tetapi yang punya kemampuan mengolah sikulit bundar diatas rata-rata menjadikan sepak bola sebagai profesi yang sangat menjanjikan. Siapa yang tidak kenal cr7, lionel messi, david beckham, mereka adalah pesepakbola yang penghasilannya kalau dikalkulasi mampu mencapai milyaran rupiah perhari. Adu rivalitas di level klub, mulai dari gaji tertinggi, trophy juara, sampai penghargaan individu. Tetapi sekian dari variable yang menarik dari sepak bola salah satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ekspektasi pendukung (supporter) dari sebuah team. Supporter sebagai pemain ke dua belas adalah salah satu faktor yang juga turut berpengaruh, dukungan supporter mampu mengangkat moril pemain yang bertarung di lapangan hijau. Sisi fanatisme supporter yang turut mewarnai kompetisi, ini adalah sebuah deskripsi bahwa dalam sepak bola kompetisi tidak hanya di lapangan hijau.
Ada cerita menarik dari Pertandingan sepak bola piala AFF CUP 2012 tadi malam yang mempertemukan antara Indoensia vs Malaysia yang akan penulis ceriterakan. Sebelumnya kita menelisik dulu turnamen dua tahunan ini. Kontestan dari Turnamen ini adalah Negara Asia Tenggara, Indonesia sebagai salah satu Negara terbesar di asia tenggara seyogyianya menjadi kiblat raksasa sepakbola di ASEAN. Melihat peta kekuatan masing-masing Negara, kompetisi regular yang berjalan. Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki liga profesinal seharusnya mampu memberikan kontribusi untuk membangun sebuah kekuatan timnas yang tidak tertandingi untuk skala ASEAN. Tetapi lagi-lagi persoalan klasik, konflik elit di internal petinggi PSSI membuat Persiapan Timnas tidak matang. Materi pemain Timnas di huni kebanyakan pemain muda yang belum cukup pengalaman.  Akan tetapi persoalan ini tidak membuat animo masayarakat Indonesia untuk mendukung Timnas jadi turun. Jutaaan warga Negara tetap setia untuk tetap menyaksikan setiap pertandingan tim garuda di ajang dua tahunan ini. Penulis melihat satu gambaran bagaimana  dukungan supporter yang dibingkai atan nama “Nasionalisme”. Di mana Sebelas pemain memikul sebuah tangunng jawab untuk menjawab harapan ratusan juta pasang mata yang turut menyaksikan pertandingan lewat layar kaca.
Penulis adalah sekian dari jutaan warga Negara yang berharap Timnas mampu menjawab ekspektasi public. Menyempatkan waktu bersama teman untuk nonton bareng dengan ratusan warga kota Makassar di gedung Suzuki jalan A.p Pettarani. Di  tempat ini penulis dapat menyaksikan bagaimana Animo masyarakat terhadap sepak bola. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, turut hadir untuk memberikan dukungan kepada Timnas. Dan yang membuat kami tersentuh adalah kehadiran dua ibu muda yang duduk pas di belakang kursi kami. Apa ada yang aneh dengan ibu muda tersebut? Sampai-sampai kami saling merunduk dan berbisik  kemudian melempar senyuman. Ya Ibu muda tersebut tengah hamil tua, ia rela berdesak-desakan, terlihat tenang walaupun keluar suara yang besar dari hiruk pikuk penonton dan  dari sound system yang besar. Mungkin terlihat biasa bagi orang lain, tapi bagi penulis justru mengannggap itu sebagai sebuah fenomena yang luar biasa. Ibu muda itu juga terlihat antusias menyaksikan pertandingan, dengan beragam ekspresi apalagi saat Timnas sudah ketinggalan dua gol, Ia diam dengan tatapan mata yang sayu. Sekali-sekali terlihat setengah berteriak ketika Indonesia mendapatkan peluang untuk mencetak gol, ia larut dalam atmosfer pertandingan. Menyaksikan pemandangan itu saya bergumam dalam hati “Mudah-mudahan saja dari rahim ibu muda ini akan lahir generasi emas sepak bola Indonesia”.
Dari cerita di atas penulis melihat asosiasi antara sepak bola dan rasa nasionalisme sangat erat. Sepak bola bisa menjadi sebuah pilar untuk membangun sebuah ego kebangsaan. Nasionalisme yang dimaknai sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, sifat kenasionalan, “makin menjiwai bangsa Indonesia”. Dengungan lagu Indonesia raya yang bergemuruh sebelum pertandingan Sepak bola tidak hanya sekadar seremoni sebelum pertandingan di mulai. Tetapi ada makna yang harus di gali secara filosofis, bahwa Indonesia ini adalah sebuah bangsa yang besar. Kita tidak akan membiarkan Bangsa lain untuk menginjak-injak harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa yang besar. Ego kebangsaan itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa kita ini punya identitas, kesamaan pandangan hidup, senasib sepenanggungan. Bukankah kita ini memang diciptakan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal satu sama lain?. Jadi semestinya kita harus belajar dari si kulit bundar untuk memupuk rasa nasionalisme.

Daftar pustaka: 
Detik.com
Artikata.com



Jumat, 02 November 2012

Pilkada sebuah seremoni politik yang carut marut.

Pemilihan kepala daerah adalah suatu prosesi demokrasi di mana Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki jumlah pilkada paling banyak diantara semua Negara demokrasi di dunia. Dengan jumlah 33 wilayah propinsi, 399 kabupaten, dan jumlah desa/kelurahan yang mencapai kurang lebih 78.000. Dapat dibayangkan betapa Indonesia sebagai sebuah Negara yang paling sibuk dalam urusan seremonial politik. Ketika demokrasi membuka keran otonomi daerah yang seluas-luasnya di mana salah satunya adalah kepala daerah dipilih secara langsung yang merupakan salah satu prinsip demokrasi. Jumlah yang sangat fantastis dan kemungkinan besarnya Indonesia adalah sebuah Negara yang hampir tiap hari ada pesta demokrasi. Otonomi daerah yang sejatinya diorientasikan terhadap efektifnya public service (pelayanan public) justru banyak memunculkan persoalan disebabkan mayoritas aktor melihat penyelengaraan otonomi daerah sebagai sebuah sayembara untuk menjadi pemegang kebijakan.
Pada kesempatan kali ini penulis tidak menyoroti otonomi daerah dalam artian yang luas, tetapi lebih spesifik kepada tumpukan persoalan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Mulai dari persoalan efesiensi anggaran, konflik horizontal yang muncul karena perbedaan pilihan politik, distrust terhadap partai politik yang menyebabkan menjamurnya calon independen, tingkat partipatif yang sangat rendah, sampai kepada persoalan High cost politic biaya politik yang tinggi. Pembahasan pertama adalah menyangkut efesiensi anggaran terhadap prosesi pilkada yang sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada menelan biaya yang tinggi dari APBD yang jumlahnya bisa mencapai Milyaran rupiah. Dan irosnisnya karena bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya adalah persoalan munculnya konflik horizontal dari prosesi pilkada. Mulai dari laporan kecurangan pilkada yang masuk ke lembaga Mahkamah konstitusi, tiap hari laporan yang masuk mencapai ratusan. sampai tindakan anarkis yang muncul karena ketidakpuasan menerima hasil pilkada menggiring massa pendukung kandidat khususnya yang kalah untuk bertindak destruktif. Ini adalah sebuah potret buram ancaman disintegrasi terhadap kelangsungan proses demokratisasi di Indonesia.
Lain halnya dengan Fenomena menjamurnya calon independen dalam pilkada. Di sejumlah daerah di Indonesia justru ada beberapa kandidat dari calon independen yang menang karena mampu meraih simpati masyarakat. Hal ini juga yang melegitimasi bahwa hari ini masyarakat tengah mengalami distrust terhadap partai politik yang merupakan pilar demokrasi. Ada beberapa hasil survei yang menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun akibat kekecewaan publik yang menilai pemerintahan yang diwakili parpol cenderung mengalami stagnasi. Diperparah dengan tingkat partisipasi pilkada disetiap daerah yang tergolong rendah, masyarakat cenderung apatis untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sebahagian masyarakat paranoid dengan Term “Politik”, politik seolah sebuah aib yang kemasannya hanya dipenuhi dengan hal-hal yang konotasinya negatif. Dan satu hal yang tidak bisa dinafikkan adalah bahwa ongkos pilkada dalam prosesi demokrasi di Indonesia membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi. Tidak jarang terjadi “kongkalikong”  kepentingan antara kepala daerah dan pengusaha, yang merupakan dampak dari tingginya biaya politik dan inefisiensi birokrasi. Kepala daerah yang terpilih merupakan hasil dari biaya tinggi yang dikeluarkan selama pilkada berlangsung. Akumulasi biaya kampanye tidak sebanding dengan gaji seorang kepala daerah selama menjabat. Berangkat dari fakta empiris diatas maka kita tidak perlu heran kalau banyak kepala daerah yang korupsi. Karena potensi untuk korupsi memang besar disebabkan adanya utang moril terhadap orang-orang yang sebelumnya punya kepentingan. Jadi ungkapan “Power tends to the corrupt” memang benar adanya.
Dengan rentetan fakta yang tersaji diatas maka gambaran bahwa Good governance dalam demokrasi hanyalah sebuah mitos. Harapan akan hadirnya sebuah “Welfare state” atau Negara yang menjamin kesejahteraan umum “General walfare” dalam prosesi demokrasi adalah hal yang utopis. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, Indonesia dikaterogikan sebagai sebuah Negara yang berada dalam kondisi “Failure State” Negara yang gagal mensejahterakan rakyatnya. Ataukah memang demokrasi kita yang terlahir premature sehingga semua realitas politik hari ini hanyalah sebuah konsekuensi?. Dan yang lebih aneh lagi adalah hari ini banyak oknum yang mengklaim bahwa Indonesia mengalami perkembangan demokratisasi yang pesat, ketika fakta empiris menunjukkan bahwa demokrasi tidak lebih dari sebuah sistem yang merusak tatanan kehidupan bernegara. Klaim bahwa demokrasi itu sistem yang paripurna sebetulnya hanyalah sebuah hegemoni yang kemungkinannya mengarah kepada sebuah universalisasi ideologi tertentu.  Negara ini hanya berada dalam suatu kondisi yang paradoksal karena ditengah dominasi barat yang secara tidak langsung telah mengintervensi secara ideologi dan politik.
Di tengah carut marutnya pilkada sebagai sebuah seremoni politik dalam dunia demokrasi, lalu apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani persoalan tersebut. Apakah dengan solusi yang sifatnya praktis seperti efesiensi anggaran dengan menggunakan dana APBN, pilkada serentak, sampai Edemokrasi (penggunaan teknologi informasi dan komunikasi). Tetapi apakah ada solusi yang lebih mengarah ke pokok persoalan yang lebih substansial. Dalam hal ini penulis punya sudut pandang dalam melihat persoalan ini, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa demokrasi hanya berbicara persoalan menang kalah, bukan benar salah. Demokrasi menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas yang justru menurut empunya demokrasi plato dan Aristoteles demokrasi itu menyesatkan Karena pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam. Pilihan rakyat dapat bersifat buta, tiba-tiba atau transaksional, tergantung siapa yang mau membayar. Jadi demokrasi hari ini juga menyandarkan kedaulatannya pada uang “Kedaulatan uang”. Dibutuhkan suatu formulasi yang betul-betul mampu mengimbangi efek demokrasi, salah satu hal perlu di pertegas adalah Indonesia sebagai sebuah Negara hukum Rechstaat.
Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dengan tegas dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Artinya Indonesia tidak hanya menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas tetapi juga pada kedaulatan hukum atau biasa dikenal dengan istilah Nomokrasi. Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan politik dalam kehidupan bernegara, sedangkan nomokrasi adalah penyerahan terhadap hukum terhadap pencideraan demokrasi. Jadi demokrasi dan nomokrasi eksistensinya seperti dua sisi dari sekeping mata uang.  Nomokrasi sebuah keharusan yang mutlak dibutuhkan berjalan seiringan dengan demokrasi, tetapi hari ini demokrasi (Kedaulatan politik) justru memasung nomokrasi (kedaulatan hukum). Nomokrasi dalam hal ini mewujud dalam bentuk undang-undang yang merupakan aturan pelaksanaan tidak boleh memberikan banyak celah untuk para aktor. Kebijakan politik harus sejalan dengan aturan yang ada. Dan semestinya ini yang perlu kita kaji lebih jauh dalam diskursus filsafat politik hukum. Ataukah kita akankah membiarkannya begitu saja tanpa ada reorientasi pendidikan politik? Maka konsekuensinya sederhana, generasi kedepannya juga hanya akan menikmati hal yang sama seperti yang kita alami saat sekarang ini.

Rabu, 21 Maret 2012

Kekonyolan terindah dalam persfektif filsafat cinta.



Kekonyolan terindah dalam persfektif filsafat cinta.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti dingin dengan air yang menjadikannya salju, seperti gembira dengan bibir yang menjadikannya senyum, seperti huruf dengan makna yang menjadikannya kata, seperti khusyuk dengan kata yang menjadikannya doa, seperti dirimu denganku yang menjadikannya satu. ~Sapardi Djoko Damono~
            Yang kuingat hari  itu hanyalah sebuah kekonyolan, di mana saya menyuguhkan kesan pertama yang tidak normal. Serpihan masa lalu yang sama sekali saya menginginkan sekaligus tidak kehadirannya. Kehadiran yang tidak diinginkan adalah cara menyikapi yang membuat semuanya terlihat konyol. Di sisi lain kehadirannya  adalah  sebuah karya seni, karya seni Sang pencipta yang dilukis dengan sebutan etika dan estetika. Etika itu sebuah sikap yang santun dan tutur bicara yang sopan. Estetika itu seorang gadis berparas ayu yang keelokannya dibingkai dengan hijab yang menyempurnakan keanggunannya. Ibarat musafir di padang pasir yang tandus dengan kerongkongan kering dan kehadirannya adalah oase jernih, tidak hanya melepas dahaga tetapi saya menyelam sampai ke dasarnya, tidak ada pelanggaran batas halusinasi. Alam sadar tidak bisa menciptakan situasi dibawah kendali. Mungkin saja saat itu saya mengalami disonansi kognitif sebuah peristiwa yang biasa dialami seorang pria ketika kagum kepada suatu objek yang kehadirannya membuat fungsi psikomotorik terganggu. Ini sebuah deskripsi di mana saya juga hanyalah salah satu objek partikulir, sebab peristiwa ini umumnya pernah juga dialami oleh orang lain. Tetapi bagaimanapun penjelasannya, kekonyolan tetaplah sebuah kekonyolan dengan prinsip identitasnya. Pendekatan rasional hanya bisa menyebutnya “Kekonyolan yang terindah”. Istilahnya mungkin terdengar agak lebay, tetapi itulah faktanya. Bahwa dengan kekonyolan itu pulalah yang membuat seseorang terkadang menertawakan dirinya sendiri sekalipun ia berada di kamar mandi.
Berangkat dari asumsi ini mungkin ada yang menarik kesimpulan bahwa cinta itu melumpuhkan logika benar. Sebab cinta seringkali membuat kita berprilaku yang diluar dari kebiasaan-kebiasaan normatif. Peristiwa di luar nalarpun sering melanda sang pencinta, sampai ke titik ekstremnya. Baygon dipersepsikan seolah air putih untuk pemuas rasa dahaga, bahkan memecahkan rekor dengan lompat dari lantai 21. Semua peristiwa itu diasosiasikan sebagai peristiwa yang disebabkan oleh cinta, dan itu persepsi mayoritas. Tetapi bagi penulis pada hakekatnya cinta bukanlah suatu hal yang melumpuhkan logika karena cinta itu perbuatan Tuhan. Yang benar adalah logika manusia yang tidak paripurna sehingga terbatas dalam mempersepsikan cinta sebagai perbuatan Tuhan. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah motif kekonyolan itu juga bisa mewakili perbuatan-perbuatan Tuhan? Jawabannya sederhana “Tergantung Niatnya”. Innamal amalu Binniat “Sesungguhnya perbuatan itu dinilai dari niatnya”. Dan niat yang sempurna kebaikannya adalah niat yang berbanding lurus dengan perbuatan. Tetapi kalau kekonyolan itu di sebabkan hanya sebatas karena penilaian gelaran fisik yang sifatnya nisbi atau relative maka motifnya jelas tidak mewakili perbuatan Tuhan. Tetapi kalau kekonyolan dalam artian masih dalam batas toleransi tidak melanggar nilai akhlak atau menyandarkan kecintaannya kepada sang pemilik ciptaan maka kekonyolannya sudah bermetaformofosis menjadi motif mencintai karena kecintaannya DIA. Cinta yang tidak hanya menyandarkan parameternya sebatas pada gelaran fisik, tapi juga pada sifat dan perbuatannya hanya semata-mata karena Tuhan. “Ya Allah aku ingin mencintai Hamba-mu yang menyandarkan kecintaannya kepadamu agar bertambah Kecintaanku kepada-mu”.
Penulis terinspirasi sebuah film India atau biasa dikenal “Bollywood” Judul film tersebut adalah Rab Ne Bana Dijodi yang diperankan oleh Shah rukh khan. Sebuah kisah yang menceriterakan bagaimana belajar menjadi seorang pencinta sejati dimulai dari kekonyolan-kekonyolan kecil. Sampai dalam cerita tersebut Shah rukh khan harus berkepribadian ganda, sekilas sesuatu hal yang mustahil tetapi mungkin terjadi. Dalam film tersebut dengan indahnya Shah rukh khan yang berperan sebagai surinder mengungkapkan kecintaannya dengan bait yang indah “Aku mencintaimu karena aku melihat Tuhan dalam dirimu”. Atau dari paragraph sebelumnya ada pertanyaan apakah perbuatan Tuhan dapat diwakili dalam hal ini yang dimaksud adalah mencintai? Mewakili dalam artian bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk mencintai apa yang di cintaiNya. Jadi sejatinya manusia dilahirkan untuk bisa sampai pada kesempurnaan ketika ia bisa belajar mencintai. Jawabannya tegas “ia”, dan yang paling di cintai Tuhan sudah pasti kekasihNya “Muhammad SAW”. Dalam hakekat penciptaan Allah SWT mengungkapkan Kecintaannya kepada kekasihnya Muhammad SAW dengan puisi maha Indah. “Sesungguhnya jika bukan karena engkau Muhammad tidak akan kuciptakan alam semesta ini” (Hadits Qudsi). Maka atas seizinnya seyogianya kecintaan kita harus diungkapkan juga dengan bahasa indah misalnya “Seandainya bukan karena engkau wahai belahan jiwaku N binti N maka aku tidak akan diciptakan di alam semesta ini. Itulah kenapa Cinta diagungkan sebab cinta dalam hidup ini adalah kompas sekaligus jalan itu sendiri. Wassalam.!!~

Jumat, 16 Maret 2012

Salam Pembebasan

Entah ini kutukan atau hanyalah sebuah periodisasi era yang mesti dilewati seperti yang biasa dijelaskan dalam persfektif ilmu social. Tetapi yang jelas tumpukan permasalahan yang menimpa negeri ini bisa diibaratkan jamban yang sudah terisi penuh kotoran. Fakta empiris yang tersaji di realitas memberikan sebuah legitimasi bahwa “Negeri ini dalam keadaan tidak baik-baik saja”. Jutaan masyarakat miskin dideskripsikan dalam deretan angka-angka, Birokrasi mengidap psychological compulsion “Kleptomani”, Demokrasi memberikan ruang tanpa batas kepada politikus untuk berlomba-lomba melakukan pencitraan. Dan masalah yang lebih besar lagi ketika sikap skeptis yang dijadikan solusi oleh mayoritas yang dipundak mereka ada tanggung jawab. Apakah masa depan negeri ini memang sudah digadaikan?!
Maka tepatlah aforisme Ali bin abi thalib k.w bahwa “penindasan adalah kerjasama yang apik antara penindas dan yang tertindas”. Dan faktualnya bahwa yang menjadi oknum penindas hari ini tidak lain adalah mereka sendiri yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Padahal hakekatnya kekuasaan (Penguasa) bukanlah sebuah proposisi yang harus bermetamorfosis menjadi penindas tetapi untuk menjadi pelayan. Redefenisi tentang arti kekuasaan itu sendiri harus dipahami oleh aktor pemegang kebijakan. Negara ini tiran karena aktornya yang rakus dan salah menafsirkan kekuasaannya. Sikap skeptis yang di tunjukkan oleh mayoritas kaum tertindas justru membuktikan bahwa penindasan memang diinginkan oleh mayoritas. Penindasan ini sekaligus  menegaskan bahwa pada fase ini penindasan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menyandarkan kedaulatannya kepada suara terbanyak. Jadi sikap skeptis kaum tertindas adalah sebuah pilihan bebas entah itu konsekuensi tidak tahu akan ketidaktahuannya atau sadar akan ketidaktahuannya.
Hari ini kita diberi sebuah pilihan apakah akan tetap melanjutkan kerjasama atau mencoba memutus mata rantai penindasan. Ketidakbijakan penguasa untuk menaikkan harga BBM adalah bentuk nyata penindasan. Belum jatuh tempo kenaikan harga BBM, Inflasi sudah menyalip. Harga barang naik secara serentak yang dampaknya bisa dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan dampaknya bisa akan lebih luas atau dikenal dengan istilah Butterfly effect. Kalau mau dideskripsikan satu persatu efek dari kenaikan BBM jelas tidak akan muat hanya dengan lembaran artikel. Ketika dikaji lebih jauh, jelas bahwa langkah tersebut bertentangan dengan landasan konstitusi UUD 1945 Pasal 33. Yang jelas bahwa ketidakbijakan ini hakekatnya hanya akan menambah deretan masalah.  Lalu apa yang mesti kita perbuat untuk melawan penindasan ini. Tulisan dan forum ilmiah adalah sekian diantara cara untuk mencari solusi, tetapi lewat forum ilmiah acapkali kita justru dipertontonkan debat kusir yang skenarionya sudah tersusun rapi. Tulisan juga bisa memberikan pencerahan paradigma kepada khalayak tetapi juga bukan titik kulminasi dari sebuah perlawanan.
Butuh kesadaran kolektif dari semua lapisan dan golongan masyarakat untuk memboikot ketidakbijakan ini. Maka tepatlah pepatah “Bersuaralah sebab tidak ada keadilan dalam diam”. Meneriakkan ketidakadilan adalah salah satu langkah taktis, bukan hanya dalam artian turun dijalan tapi juga melalui jalur diplomatis. Tetapi kalau kita realistis melihat perlawanan kaum tertindas yang sudah terkesan monoton hanya dengan orasi di sepanjang jalan-jalan protokol, bisa dianalisa bahwa ada disorientasi perlawanan. Jadi yang perlu diluruskan pemahamannya terlebih dahulu adalah mana jantung ketidakbijakan yang harus dihentikan denyutnya. Sepertinya kita mesti bercermin pada masa lalu salah satunya adalah reformasi 98.!!!