Sabtu, 06 Agustus 2011


Merefleksikan Cinta di bulan suci Bag 1.
Bahasa arabnya Mahabbahdalah ini dan bahwa cinta adalah itu. Tetapi terlepas dari munculnya berbagai interpretasi definisi “cinta” hal  itu tidaklah merubah paradigma bahwa cinta adalah sesuatu yang universal. Ci yang artinya pengasihan atau cinta. Banyak hal  yang menarik yang bisa kita bahas dalam perkara ini. Dari term inipun muncul berbagai interpretasi dalam pendefinisiannya. Bahwa cinta anta adalah sesuatu yang mencakup segala sesuatu. Oleh sebab itu “cinta” seharusnya berujung pada sebuah definisi objektif, dan inilah yang mesti kita pahami. Hakekat cinta tidak boleh sekuler dalam artian bahwa cinta yang kita pahami memisahkan dan mendikotomikan dimensi kehidupan antara cinta dunia dan cinta akherat, antara cinta seorang anak kepada ibunya dan cintanya kepada kekasihnya, antara cinta kita ke sesama mahluk dengan mahluk lainnya. Hakekat cinta adalah sebuah terminology universal “al-Kulliyah al-Khamsah”. Oleh sebab itu konsekuensi logisnya adalah bahwa cinta semestinya bermuara pada satu Tujuan  yakni semata-mata karena ini adalah bentuk ekspresi dan penghambaan kita kepada yang “Maha Pemilik cinta”. Penulis memberikan perumpamaan bahwa ekspresi cinta kita diibaratkan kelereng dalam sebuah wadah yang besar. Kelereng itu memiliki jumlah yang banyak dan bermacam warna tetapi tetap berada dalam sebuah wadah yang sama. Jumlah yang banyak dan yang bermacam warna inilah yang merupakan gradasi dari sebuah wujud cinta yang universal. Oleh sebab itu letak subjektifitasnya adalah ekspresi dari kecintaan kita terhadap sesuatu yang di luar dari diri kita. Cara kita menyuguhkan cinta kepada, Orang tua, Sahabat, Fakir miskin, Guru, dan Kekasih (pacar) tentu memiliki menu dan porsi yang berbeda (kecintaan kepada sesuatu yang konkret). Yang perlu diketahui adalah apakah diantaranya ada sesuatu yang lebih di prioritaskan sebab terkadang ada saat di mana kita di benturkan pada sebuah pilihan untuk mengorbankan salah satunya. Kebiasaannya kita memilih mengorbankan salah satunya karena kondisi psikologi tanpa mengetahui apakah dari semua hal tersebut di mata tuhan ada yang lebih diutamakan dan kecil mudaratnya.
Dan privativ dari cinta yaitu benci sebenarnya juga adalah cinta, cinta yang gradasinya paling dan sangat rendah. Walaupun sebenarnya dalam Al-Quran tidak ada kata “membenci”, yang ada adalah bentuk negative kata “tidak mencintai”. Sebelum kata yuhibbu, diawali dengan kata ‘la’. Innalaha la yuhibbu (Sesungguhnya allah tidak mencintai). Yang tidak dicintai tuhan kadang-kadang orang atau perbuatan. Semestinya hal inilah yang mesti kita kaji lebih jauh. Dalam buku The art of loving, atau seni mencinta, Erich fromm menulis bahwa manusia modern sesungguhnya adalah manusia yang menderita disebabkan oleh hasrat mereka untuk di cintai oleh orang lain. Manusia modern melakukan berbagai cara apa saja agar mereka bisa menarik simpati dari orang lain. Hal inilah yang menyebabkan generasi muda terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena mereka ingin dicintai dan diterima oleh lingkungan sepergaulannya. Seorang istri rela mengeluarkan biaya yang banyak untuk menguruskan tubuhnya agar di cintai oleh suaminya. Politikus tidak segan-segan menghalalkan berbagai cara untuk menarik simpati masyarakat dengan membeli kecintaan rakyat dengan uang milyaran rupiah. Yang dilakukan manusia modern adalah upaya untuk dicintai bukan upaya untuk mencintai. Pada akhirnya kita menemukan bahwa semakin keras manusia berusaha untuk dicintai semakin sering pula mereka gagal dan di kecewakan.
Adalah suatu hal yang mustahil untuk memperoleh kecintaan seluruh manusia sebab fitrahnya manusia di kelilingi oleh dua jenis orang: yang mencintai dan yang membenci dirinya. Dalam persfektif Erich Fromm manusia modern adalah manusia yang mengalami gangguan psikologis karena kegagalan untuk dicintai. Pada satu bagian dalam buku itu Erich from menulis: “Mungkin sudah waktunya kita beri tahu mereka untuk belajar mencintai”. Oleh sebab itu semestinya kita harus berikhtiar untuk memperoleh makna dan hakekat cinta yang sebenarnya. Cinta yang universal, Cinta yang karena kecintaannya kelak kita akan berada di surganya. Sebab jika target kita dalam hidup hanya untuk memperoleh kecintaan dari sesama manusia, kita kan selalu menemui kekecewaan sebab kecintaan mahluknya bersifat sangat sementara atau temporer. Atau pembaca mungkin sudah pernah mendengar kisah Musyawarah para burung Dalam manthiq Al_Thair karya fariduddin attar yang juga kebetulan dijadikan perumpamaan oleh Prof. Jalaluddin rakhmat dalam bukunya the road to allah yang kebetulan menjadi salah satu referensi dalam tulisan ini.
Lanjut menurut fromm adalah bahwa untuk menyembuhkan penyakit manusia modern yang bisa dilakukan adalah dengan belajar mencintai. Kebahagiaan hidup kita bergantung dari apa yang kita cintai. Dan secara gamblang Erich fromm menunjukkan kepada kita sebuah realitas bahwa dalam wacana ilmu pengetahuan kita akan sedikit menemukan literature yang berisi pelajaran untuk mencintai. Buku-buku mutakhir maupun artikel dalam dunia maya mayoritas mengajarkan kita akan kiat-kiat untuk dicintai. Dicintai lawan jenis, atasan, teman, ataupun rekan kerja. Bahkan populernya proses mencintai yang diajarkan bukanlah proses pembelajaran, melainkan proses “kecelakaan”. Kita mengenal istilah “jatuh cinta” atau “fall in love” bukannya “belajar mencinta” atau “learn to love”. Di sebut “jatuh” karena kita menganggap mencintai sebagai suatu kecelakaan yang tidak direncanakan sebelumnya.
Tetapi sebelum jauh membahas panjang lebar hal tersebut mungkin lebih bijak jika kita melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni hal apakah yang tidak di cintai oleh tuhan atau dalam artian sesuatu tersebut keluar dari koridor atau ketetapan yang sudah menjadi hukum tuhan yang berlaku secara universal. Sesuatu yang mungkin teraleniasi dalam benak para pencinta yang pada hakekatnya yang dipahaminya itu bukanlah makna cinta yang sebenarnya. Sebab hari ini banyak potret edan karena cinta, orang bunuh diri karena cinta, saling mengkafirkan karena cinta (fanatisme), bahkan hamil di luar nikah karena cinta (cinta karena hawa nafsu). dan penulis teringat pada satu film kolosal yang diangkat dari kisah nyata (lupa judulnya). Di mana pada salah satu sekuel dalam film itu penulis teringat ungkapan “Dia memulai perang karena wanita”. Film itu menggambarkan seorang raja yang karena kecintaannya kepada seorang wanita dia rela mengorbankan ribuan nyawa untuk mendapatkan yang diinginkannya. Cinta yang menyebabkan Raja bertindak di luar dari nalarnya, Cinta yang menjadi Tiran untuk rakyatnya. Tetapi tidak semua yang penulis sebut itu berlaku untuk kasus yang lain. Sebab ada sesuatu yang memang karena cinta kita harus mempertahankannya sepanjang hal itu adalah sesuatu yang Haq. Misalnya kecintaan para sahabat untuk Nabi sehingga berperang dan rela menjadi perisai untuk Nabi. Lanjut dari pembahasan sebelumnya yaitu sesuatu yang tidak di cintai oleh tuhan. Dalam buku The Road to Allah kang jalal (Prof. Jalaluddin Rakhmat) menyebut yang pertama mu’tadin, orang-orang yang melakukan sesuatu dengan melampaui batas misalnya mengejar musuh yang sudah lari dari medan perang. Ke dua orang-orang yang berlebihan, beda konotasi dari yang pertama yang dimaksud kang jalal di sini adalah segala sesuatu yang berlebihan misalnya yang terlampau kenyang ketika makan (mungkin penulis). Bahkan dideskripsikan seperti suara keledai maksudnya adalah orang yang hanya bersuara keras ketika membela kepentingan dirinya, golongannya, tetapi ketika berbicara tentang kepentingan bangsa, suaranya jadi melemah, bahkan tidak bunyi sama sekali. Dan yang ke tiga zalim adalah orang berbuat tidak adil.
Ramadhan kali ini adalah momentum untuk merefleksikan kembali arti kecintaan kita. Cinta kepada ilahi, cinta kepada kekasihnya dan cinta kepada sesama mahluknya. Pembelajaran kita untuk mencintai pada dasarnya memiliki tuntunan yang jelas, bahwa kita mesti belajar mencintai sesuatu yang konkret atau lahiriah sebelum mencintai hal-hal yang bersifat abstrak. Untuk belajar agar mampu mencintai, kita mesti belajar dari dimensi terkecil: Dengan mencintai pasangan kita, keluarga, sahabat, kendaraan, atau apa saja yang kita miliki. Hal itu adalah perumpamaan kecintaan yang dimiliki oleh anak kecil yang merupakan tahap dasar. Seterusnya kita harus mengembangkan kepribadian kita ke tingkatan yang lebih baik. Pada saat itulah kita dapat menempuh pelajaran yang lebih tinggi agar tidak terjebak dengan hanya mencintai sesuatu yang konkret. Kita mesti berusaha mencintai hal-hal yang bersifat abstrak, Sebagaimana hadist yang sangat terkenal meriwayatkan sabda Nabi Muhammad Saw: “Cintailah allah atas anugerahnya kepadamu, Cintailah aku atas kecintaan allah kepadaku, dan cintailah keluargaku atas kecintaanku kepada mereka”. Dalam hadist ini Rasulullah Saw. Menurunkan tiga kecintaan; Kepada Allah SWT., Rasulullah Saw., dan Ahlul bait nabi. Rasullah mengajari kita untuk meninggalkan kecintaan pada hal-hal yang konkret dan menuju kecintaan pada hal-hal yang abstrak. Atau Imam al ghazali dalam ihya ulumuddin, menyatakan adalah sebuah kebohongan besar orang yang mengaku mengaku mencintai Allah Swt., Tetapi ia tidak mencintai rasulnya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasulnya tetapi tidak mencintai kaum fakir dan miskin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah tetapi ia tidak mau menaati perintahnya”. Semua itu pada hakekatnya mengajari kita untuk mencintai hal-hal yang abstrak.
Oleh sebab itu penulis berharap agar semestinya kita semua intropeksi diri di bulan yang suci ini. Mengawali Ramadhan dengan niat yang suci dan Insya allah mengakhiri dengan jiwa yang fitri. Bulan ini adalah momentum untuk merenungkan kecintaan kita kepadanya. Dan kewajiban kita adalah untuk saling menyeru pada kebaikan sebagai manifestasi atas kecintaan terhadapnya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk kecintaanku kepada senior sekaligus guru dalam belajar, Orang tua yang selalu menasehati pada kebaikan, Sahabat yang mengakhlaki di saat khilaf, dan tidak lupa untuk calon ibu untuk anak-anakku kelak. Amin. J

Bersambung……