Kamis, 23 Juni 2011

“Pahlawan devisa sebuah tanda & masa depan negeri ini” (coretan untuk para pahlawan devisa).

Tenaga kerja Indonesia atau biasa disingkat TKI adalah warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri dengan profesi yang beragam. Para tenaga kerja Indonesia ini mendapatkan julukan “pahlawan devisa”. Alasan yang menjadi rasionalisasi sehingga predikat sebagai pahlawan devisa disematkan kepada para TKI  ini tidaklah berlebihan. Devisa yang terdiri atas valuta asing yang bisa menjadi alat pembayaran Internasional, Sebahagian besar bersumber dari kuantitas warga Negara yang mengadu nasib di luar negeri. Kontribusi material ini yang menjadi landasan filosofis. Tetapi aksiomatisnya ketika mereke digelari “pahlawan devisa” tapi justru di sisi lain hak mereka sebagai warga Negara yang dideklarasikan sebagai “pahlawan devisa” didiskriminasikan. Konotasi dari kata pahlawan kontradiktif dengan nasib para TKI yang kenyataannya sisi kemanusiaan mereka digerogoti. TKI ibaratnya komoditi yang dikomersialisasi dan tidak lebih hanya dipandang sebagai rupiah yang mengisi kas Negara. Substansi dari kata pahlawan adalah sebuah kamuflase untuk mengelabui publik terhadap bagaimana sebenarnya nasib para TKI di luar negeri. Oleh sebab itu kalau pemerintah mau mendeklarasikan para TKI sebagai pahlawan devisa, seharusnya tegas mengambil langkah-langkah konkret dalam menjamin hak dan memberikan perlindungan secara konstitusional.
 Para “pahlawan devisa” perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar seyogiyanya hak mereka untuk mendapatkan perlindungan dari Negara tidak terabaikan. Sayangnya realita hari ini menunjukkan secara kasat mata para “pahlawan devisa” diibaratkan dalam sebuah peribahasa “bagai kacang yang lupa akan kulitnya”. Negara hanya menggeruk keuntungan dari para “pahlawan devisa” tanpa bisa memberikan sebuah balas jasa. Negara tidak mampu memberikan jaminan terhadap hak kontitusional para “pahlawan devisa”. Banyaknya tenaga kerja yang mengalami nasib buruk mulai dari kasus penganiayaan sampai yang di giring ke jalur hukum menjadi parameter bahwa Negara dalam hal ini pemerintah gagal dalam menjamin hak warga negaranya. Bukankah Negara bertanggung jawab dalam menjamin hak setiap warga negaranya sebagaimana tercantum dalam UUD. Ataukah mereka para “pahlawan devisa” bukan warga Negara yang juga semestinya mendapatkan perlindungan hukum,? Sehingga pemerintah seolah lepas tangan dalam menangani berbagai permasalahan yang menyandung para “pahlawan devisa”.
                Sebenarnya permasalahan para “pahlawan devisa” ini adalah lagu lama mengingat sebelumnya banyak kasus yang sama mencuat di media. Ruyati yang telah dieksekusi hukuman pancung dan darsem yang harus membayar denda sebesar 4,6 milyar hanyalah sekian dari banyaknya para “pahlawan devisa” yang mengalami nasib yang sama. Dari kasus ini muncul beragam argumen dari pihak yang berwenang menangani permasalahan ini. Mulai dari wakil rakyat kita yang terhormat sampai duta Internasional yang mendeklarasikan dirinya sebagai pejuang hak asasi manusia. Tetapi sekian dari argument tersebut banyak yang memberikan penjelasan tapi tidak mampu menjawab ekspektasi publik. Salah satu argument yang pernah penulis dengar dari salah seorang pembicara di media yang mengatakan “di Malaysia kebanyakan kasus yang menyandung para TKI adalah kasus narkoba”, entah sumbernya valid atau tidak yang jelas kontradiktif dengan media yang merupakan parameter utama sebab menyajikan data empiris bagaimana para “pahlawan devisa” kebanyakan adalah korban penganiayaan. Komentar para pemilik kewenangan dalam menangani permasalahan ini bagaikan pepesan kosong, makanya wajar jika ada yang menjustifikasi bahwa ditengah carut marutnya perlindungan HAM terhadap para “pahlawan devisa” banyak muncul “pahlawan kesiangan”. Mereka seolah-olah memberikan kontribusi terhadap penegakan dan perlindungan HAM tapi mereka sendiri lupa siapa diri mereka dan apa kapasitasnya. Apalagi jika dibenturkan dengan realitas yang mencuat di media hari ini, ratusan “pahlawan devisa” terancam hukuman mati. Ironis memang!
                Dengan memperhatikan kondisi yang tengah terjadi sampai saat ini. Muncul beragam pertanyaan, apakah kondisi ini akan terus dibiarkan berlarut-larut? Apa yang salah dari munculnya banyak permasalahan yang menyandung para “pahlawan devisa”? Siapa yang bertanggung jawab? Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk mengobati luka para “pahlawan devisa”. Penulis yakin bahwa banyak yang bisa merumuskan permasalahan yang dialami oleh para “pahlawan devisa”, tetapi implementasi untuk menyelesaikan permasalahan ini yang menjadi kendala besar. Yang jelas pemerintah tidak boleh tinggal diam, apalagi kondisi intern Negara saat ini dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pada saat permasalahan ini diupdate ke media masih banyak permasalahan nasional yang juga tidak boleh lepas dari perhatian publik. Hegemoni media dalam menentukan opini publik sangat rentan membuat publik lepas perhatian dari kasus lainnya. Bahkan penulis bisa berspekulasi jangan sampai kasus “pahlawan devisa” dijadikan pengalihan isu dari kasus lainnya, mengingat bahwa banyak permasalahan yang sampai hari muncul dan bermuara ke istana Negara.
                Tetapi terlepas dari semua hal tersebut  yang menjadi topik diatas tentang nasib para “pahlawan devisa” tetap tidak boleh lepas dari perhatian. Sebab ini adalah salah satu parameter keberhasilan sebuah pemerintahan. Bagaimana citra bangsa kita di mata Internasional diterjemahkan oleh nasib dan perlakuan yang diterima oleh warga Negara yang berada diluar negeri. Oleh sebab tulisan ini hanya mendeskripsikan apa yang terjadi dan kemungkinan hanya menaikkan tensi pesimisme jika kita memperhatikan kesenjangan antara harapan dan realisasi yang masih menganga lebar. Tetapi itu bukanlah alasan pembenar untuk apatis melihat fenomena yang telah terjadi. Negara dalam hal ini pemerintah harus punya tekad kuat untuk melakukan berbagai langkah konkret. Khusus yang berwenang dalam menangani persoalan ini supaya lebih responsive dalam melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir pelanggaran HAM yang melanda para “pahlawan devisa”. Dan penulis ingin menekankan bahwa kita semua tidak boleh berputus asa, setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Tidak jadi masalah kita kritis terhadap setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini, yang jelas kritik yang membangun. Imam ali k.w pernah berkata “orang yang merugi adalah orang yang panjang angan-angan” relevansinya adalah kita tidak semestinya hanya berkutat di tataran wacana dibutuhkan langkah praktis untuk setiap pemasalahan yang ada. Dan sebelum turun ke tataran praktis penulis merumuskan berapa langkah solutif yang mesti ditempuh secara tegas oleh pemerintah.
Ø  Membuka lapangan kerja
Merupakan sebuah kepastian bahwa kurang tersedianya lapangan kerja menyebabkan banyak warga Negara mencoba peruntungannya di luar negeri. Sebuah hegemoni bahwa dengan bekerja di luar negeri dapat keluar dari jeratan ekonomi sebab di luar negeri banyak tersedia lapangan kerja. Oleh sebab itu pemerintah perlu mengambil sikap dan tindakan yang tidak lagi membela kepentingan kelompoknya, tetapi beorientasi bagaimana menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat. Apalagi pada hakekatnya bangsa ini adalah sebuah bangsa yang kaya akan sumber daya alam, Tinggal bagaimana memoles sumber daya manusia yang kompetitif. Khusus untuk para warga Negara yang berminat mengadu nasib di luar negeri agar pemerintah memberikan keterampilan yang memadai. Mulai dari rekruitmen tenaga kerja harus selektif bukan karena yang bermodalkan keberanian. Tetapi sebelum berpikir kearah tersebut yang paling utama adalah bagaimana menyiapkan lapangan kerja dalam negeri. Bagaimana agar perusahaan nasional dan asing dapat menyerap tenaga pribumi “warga Negara”.
Ø  Penegakan supremasi hukum dan HAM.
Penegakan supremasi hukum dan HAM kita berbicara tentang sistem. Sesuatu yang abstrak tetapi sangat berpengaruh dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik good governance. Pemerintahan yang baik menjamin masyarakat akan hidup makmur, sejahtera, dan keadilan yang sama di mata hukum. Tidak ada diskriminasi dan diferensiasi dalam penegakan hukum dan HAM. Oleh sebab itu pemerintah semestinya mengambil langkah tegas misalnya dalam hal pemberantasan korupsi, keberanian untuk menerapkan hukuman mati terlepas dari pro kontranya dari perspektif penulis merupakan keseriusan pemerintah untuk penegakan hukum. Khusus untuk pelanggaran HAM pemerintah perlu membenahi internal birokrasi sebab sampai hari ini saja masih banyak pelanggaran HAM yang belum selesai. Dan sangat susah penulis mendeskripsikan satu persatu mengingat permasalah sudah saling tindih. Para “pahlawan devisa” banyak yang tersandung kasus hukum olehnya itu pemerintah perlu menempuh kebijakan yang implementatif. Hubungan diplomatis dengan Negara lain mesti dibenahi mengingat Negara ini seperti telah kehilangan wibawa di mata internasional.  Relevansi antara penegakan hukum dan HAM dengan kasus yang menimpa para “pahlawan devisa” ibarat dua sisi mata uang. Selain intropeksi diri dengan membenahi kasus nasional yang sebenarnya hal ini yang banyak menelantarkan rakyat (baca:koruptor), Pemerintah perlu memberi perhatian khusus kepada para “pahlawan devisa” terkait dengan dilanggarnya sisi kemanusian mereka maupun haknya sebagai warga negara.
Ø  Memutuskan hubungan Bilateral
Mungkin sedikit agak ekstrem tetapi ini bukanlah sebuah hal yang mustahil dan tidak masuk akal. Pemerintah harus tegas dalam bertindak. Kita masih ingat pidato Ir. Soekarno “Ganyang Malaysia” mengingat bahwa Negara tetangga ini yang paling sering membuat ulah. Mulai dari menggannggu kedaulatan nasional dengan mengklaim dan merebut pulau yang merupakan wilayah kedaulatan Indonesia sampai penyiksaan para “pahlawan devisa”. Bahkan kejengkelan rakyat berimbas dengan memplesetkan nama negaranya menjadi “Malingsial”. Negara ke dua yang juga sering melakukan hal yang sama adalah Saudi Arabia. Penulis bisa menyebut negaranya dengan sebutan “Barat Saudi” karena kondisi sosial masyarakatnya yang tidak lagi mencerminkan bahwa di sinilah tempat lahir kanjeng nabi. Sama  halnya dengan “malingsial” Negara ini juga adalah sebuah Negara monarki, entah apakah monarkinya yang salah tetapi yang jelas mereka memperlakukan para TKI secara tidak manusiawi, menggunting bibir para “pahlawan devisa” dan berbagai bentuk penyiksaan sejenisnya. Ini bukanlah subjektifitas penulis tetapi sebuah fakta yang tampak secara kasat mata. Di mata mereka bangsa Indonesia kemungkinan besar dianggap sebagai “negeri para budak”. Olehnya itu ketegasan keberanian dan ketegasan pemerintah merupakan sebuah kepatutan. Lagi pula masih banyak Negara yang sangat representative untuk menjalin hubungan kerjasama internasional dengan Indonesia. Ataukah selamanya bangsa ini akan diperlakukan demikian.!?
Tulisan ini hanya mendeskripsikan bagaimana kondisi dan langkah apa yang semestinya ditempuh oleh pemerintah. Tetapi yang paling urgen adalah apa yang dilakukan pemerintah hari ini harus mampu menjawab ekspektasi publik. Pemerintah harus memberikan rasa keadilan kepada setiap warga negaranya. Jika kondisi hari ini ke depan terus mengalami stagnasi, akan banyak muncul kekhawatiran Negara sedang mengarah pada sebuah pintu gerbang yang bernama “revolusi”. Pemerintah harus sadar bahwa masyarakat sudah jenuh dengan kebohongan dan sandiwara para aktor negeri ini. Pemikiran masyarakat mengalami terus mengalami peningkatan, atau mengutip ungkapan pak mahfud md “Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri.” Bisa disimpulkan ke depan people power bukanlah suatu hal yang mustahil. Ingat bahwa dunia telah berjalan menuju kesempurnaannya dan kesempurnaan itu akan ditandai  dengan sebuah “letupan revolusi”. Opini ini bukan hanya dari sudut pandang penulis tetapi yang jeli melihat persoalan dan kondisi hari ini bisa memprediksikan bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Kita hanya bisa berharap supaya perjalanan yang telah kita lalui dapat menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan. Bangkitlah negeriku..!!!

“Selamat datang wahai engkau yang dinantikan kedatangannya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar