Entah ini
kutukan atau hanyalah sebuah periodisasi era yang mesti dilewati seperti yang biasa
dijelaskan dalam persfektif ilmu social. Tetapi yang jelas tumpukan
permasalahan yang menimpa negeri ini bisa diibaratkan jamban yang sudah terisi
penuh kotoran. Fakta empiris yang tersaji di realitas memberikan sebuah
legitimasi bahwa “Negeri ini dalam keadaan tidak baik-baik saja”. Jutaan masyarakat
miskin dideskripsikan dalam deretan angka-angka, Birokrasi mengidap psychological compulsion “Kleptomani”,
Demokrasi memberikan ruang tanpa batas kepada politikus untuk berlomba-lomba melakukan
pencitraan. Dan masalah yang lebih besar lagi ketika sikap skeptis yang
dijadikan solusi oleh mayoritas yang dipundak mereka ada tanggung jawab. Apakah
masa depan negeri ini memang sudah digadaikan?!
Maka tepatlah
aforisme Ali bin abi thalib k.w bahwa “penindasan adalah kerjasama yang apik antara
penindas dan yang tertindas”. Dan faktualnya bahwa yang menjadi oknum penindas
hari ini tidak lain adalah mereka sendiri yang dekat dengan lingkar kekuasaan.
Padahal hakekatnya kekuasaan (Penguasa) bukanlah sebuah proposisi yang harus
bermetamorfosis menjadi penindas tetapi untuk menjadi pelayan. Redefenisi
tentang arti kekuasaan itu sendiri harus dipahami oleh aktor pemegang
kebijakan. Negara ini tiran karena aktornya yang rakus dan salah menafsirkan
kekuasaannya. Sikap skeptis yang di tunjukkan oleh mayoritas kaum tertindas justru
membuktikan bahwa penindasan memang diinginkan oleh mayoritas. Penindasan ini
sekaligus menegaskan bahwa pada fase ini
penindasan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menyandarkan
kedaulatannya kepada suara terbanyak. Jadi sikap skeptis kaum tertindas adalah
sebuah pilihan bebas entah itu konsekuensi tidak tahu akan ketidaktahuannya
atau sadar akan ketidaktahuannya.
Hari ini kita
diberi sebuah pilihan apakah akan tetap melanjutkan kerjasama atau mencoba
memutus mata rantai penindasan. Ketidakbijakan penguasa untuk menaikkan harga
BBM adalah bentuk nyata penindasan. Belum jatuh tempo kenaikan harga BBM,
Inflasi sudah menyalip. Harga barang naik secara serentak yang dampaknya bisa
dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan dampaknya bisa akan
lebih luas atau dikenal dengan istilah Butterfly effect. Kalau mau dideskripsikan satu persatu efek dari kenaikan BBM jelas
tidak akan muat hanya dengan lembaran artikel. Ketika dikaji lebih jauh, jelas
bahwa langkah tersebut bertentangan dengan landasan konstitusi UUD 1945 Pasal
33. Yang jelas bahwa ketidakbijakan ini hakekatnya hanya akan menambah deretan
masalah. Lalu apa yang mesti kita
perbuat untuk melawan penindasan ini. Tulisan dan forum ilmiah adalah sekian
diantara cara untuk mencari solusi, tetapi lewat forum ilmiah acapkali kita
justru dipertontonkan debat kusir yang skenarionya sudah tersusun rapi. Tulisan
juga bisa memberikan pencerahan paradigma kepada khalayak tetapi juga bukan
titik kulminasi dari sebuah perlawanan.
Butuh
kesadaran kolektif dari semua lapisan dan golongan masyarakat untuk memboikot
ketidakbijakan ini. Maka tepatlah pepatah “Bersuaralah
sebab tidak ada keadilan dalam diam”. Meneriakkan ketidakadilan adalah
salah satu langkah taktis, bukan hanya dalam artian turun dijalan tapi juga
melalui jalur diplomatis. Tetapi kalau kita realistis melihat perlawanan kaum
tertindas yang sudah terkesan monoton hanya dengan orasi di sepanjang jalan-jalan
protokol, bisa dianalisa bahwa ada disorientasi perlawanan. Jadi yang perlu
diluruskan pemahamannya terlebih dahulu adalah mana jantung ketidakbijakan yang
harus dihentikan denyutnya. Sepertinya kita mesti bercermin pada masa lalu
salah satunya adalah reformasi 98.!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar