Jumat, 16 Maret 2012

Salam Pembebasan

Entah ini kutukan atau hanyalah sebuah periodisasi era yang mesti dilewati seperti yang biasa dijelaskan dalam persfektif ilmu social. Tetapi yang jelas tumpukan permasalahan yang menimpa negeri ini bisa diibaratkan jamban yang sudah terisi penuh kotoran. Fakta empiris yang tersaji di realitas memberikan sebuah legitimasi bahwa “Negeri ini dalam keadaan tidak baik-baik saja”. Jutaan masyarakat miskin dideskripsikan dalam deretan angka-angka, Birokrasi mengidap psychological compulsion “Kleptomani”, Demokrasi memberikan ruang tanpa batas kepada politikus untuk berlomba-lomba melakukan pencitraan. Dan masalah yang lebih besar lagi ketika sikap skeptis yang dijadikan solusi oleh mayoritas yang dipundak mereka ada tanggung jawab. Apakah masa depan negeri ini memang sudah digadaikan?!
Maka tepatlah aforisme Ali bin abi thalib k.w bahwa “penindasan adalah kerjasama yang apik antara penindas dan yang tertindas”. Dan faktualnya bahwa yang menjadi oknum penindas hari ini tidak lain adalah mereka sendiri yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Padahal hakekatnya kekuasaan (Penguasa) bukanlah sebuah proposisi yang harus bermetamorfosis menjadi penindas tetapi untuk menjadi pelayan. Redefenisi tentang arti kekuasaan itu sendiri harus dipahami oleh aktor pemegang kebijakan. Negara ini tiran karena aktornya yang rakus dan salah menafsirkan kekuasaannya. Sikap skeptis yang di tunjukkan oleh mayoritas kaum tertindas justru membuktikan bahwa penindasan memang diinginkan oleh mayoritas. Penindasan ini sekaligus  menegaskan bahwa pada fase ini penindasan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menyandarkan kedaulatannya kepada suara terbanyak. Jadi sikap skeptis kaum tertindas adalah sebuah pilihan bebas entah itu konsekuensi tidak tahu akan ketidaktahuannya atau sadar akan ketidaktahuannya.
Hari ini kita diberi sebuah pilihan apakah akan tetap melanjutkan kerjasama atau mencoba memutus mata rantai penindasan. Ketidakbijakan penguasa untuk menaikkan harga BBM adalah bentuk nyata penindasan. Belum jatuh tempo kenaikan harga BBM, Inflasi sudah menyalip. Harga barang naik secara serentak yang dampaknya bisa dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan dampaknya bisa akan lebih luas atau dikenal dengan istilah Butterfly effect. Kalau mau dideskripsikan satu persatu efek dari kenaikan BBM jelas tidak akan muat hanya dengan lembaran artikel. Ketika dikaji lebih jauh, jelas bahwa langkah tersebut bertentangan dengan landasan konstitusi UUD 1945 Pasal 33. Yang jelas bahwa ketidakbijakan ini hakekatnya hanya akan menambah deretan masalah.  Lalu apa yang mesti kita perbuat untuk melawan penindasan ini. Tulisan dan forum ilmiah adalah sekian diantara cara untuk mencari solusi, tetapi lewat forum ilmiah acapkali kita justru dipertontonkan debat kusir yang skenarionya sudah tersusun rapi. Tulisan juga bisa memberikan pencerahan paradigma kepada khalayak tetapi juga bukan titik kulminasi dari sebuah perlawanan.
Butuh kesadaran kolektif dari semua lapisan dan golongan masyarakat untuk memboikot ketidakbijakan ini. Maka tepatlah pepatah “Bersuaralah sebab tidak ada keadilan dalam diam”. Meneriakkan ketidakadilan adalah salah satu langkah taktis, bukan hanya dalam artian turun dijalan tapi juga melalui jalur diplomatis. Tetapi kalau kita realistis melihat perlawanan kaum tertindas yang sudah terkesan monoton hanya dengan orasi di sepanjang jalan-jalan protokol, bisa dianalisa bahwa ada disorientasi perlawanan. Jadi yang perlu diluruskan pemahamannya terlebih dahulu adalah mana jantung ketidakbijakan yang harus dihentikan denyutnya. Sepertinya kita mesti bercermin pada masa lalu salah satunya adalah reformasi 98.!!!