Jumat, 02 November 2012

Pilkada sebuah seremoni politik yang carut marut.

Pemilihan kepala daerah adalah suatu prosesi demokrasi di mana Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki jumlah pilkada paling banyak diantara semua Negara demokrasi di dunia. Dengan jumlah 33 wilayah propinsi, 399 kabupaten, dan jumlah desa/kelurahan yang mencapai kurang lebih 78.000. Dapat dibayangkan betapa Indonesia sebagai sebuah Negara yang paling sibuk dalam urusan seremonial politik. Ketika demokrasi membuka keran otonomi daerah yang seluas-luasnya di mana salah satunya adalah kepala daerah dipilih secara langsung yang merupakan salah satu prinsip demokrasi. Jumlah yang sangat fantastis dan kemungkinan besarnya Indonesia adalah sebuah Negara yang hampir tiap hari ada pesta demokrasi. Otonomi daerah yang sejatinya diorientasikan terhadap efektifnya public service (pelayanan public) justru banyak memunculkan persoalan disebabkan mayoritas aktor melihat penyelengaraan otonomi daerah sebagai sebuah sayembara untuk menjadi pemegang kebijakan.
Pada kesempatan kali ini penulis tidak menyoroti otonomi daerah dalam artian yang luas, tetapi lebih spesifik kepada tumpukan persoalan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Mulai dari persoalan efesiensi anggaran, konflik horizontal yang muncul karena perbedaan pilihan politik, distrust terhadap partai politik yang menyebabkan menjamurnya calon independen, tingkat partipatif yang sangat rendah, sampai kepada persoalan High cost politic biaya politik yang tinggi. Pembahasan pertama adalah menyangkut efesiensi anggaran terhadap prosesi pilkada yang sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada menelan biaya yang tinggi dari APBD yang jumlahnya bisa mencapai Milyaran rupiah. Dan irosnisnya karena bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya adalah persoalan munculnya konflik horizontal dari prosesi pilkada. Mulai dari laporan kecurangan pilkada yang masuk ke lembaga Mahkamah konstitusi, tiap hari laporan yang masuk mencapai ratusan. sampai tindakan anarkis yang muncul karena ketidakpuasan menerima hasil pilkada menggiring massa pendukung kandidat khususnya yang kalah untuk bertindak destruktif. Ini adalah sebuah potret buram ancaman disintegrasi terhadap kelangsungan proses demokratisasi di Indonesia.
Lain halnya dengan Fenomena menjamurnya calon independen dalam pilkada. Di sejumlah daerah di Indonesia justru ada beberapa kandidat dari calon independen yang menang karena mampu meraih simpati masyarakat. Hal ini juga yang melegitimasi bahwa hari ini masyarakat tengah mengalami distrust terhadap partai politik yang merupakan pilar demokrasi. Ada beberapa hasil survei yang menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun akibat kekecewaan publik yang menilai pemerintahan yang diwakili parpol cenderung mengalami stagnasi. Diperparah dengan tingkat partisipasi pilkada disetiap daerah yang tergolong rendah, masyarakat cenderung apatis untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sebahagian masyarakat paranoid dengan Term “Politik”, politik seolah sebuah aib yang kemasannya hanya dipenuhi dengan hal-hal yang konotasinya negatif. Dan satu hal yang tidak bisa dinafikkan adalah bahwa ongkos pilkada dalam prosesi demokrasi di Indonesia membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi. Tidak jarang terjadi “kongkalikong”  kepentingan antara kepala daerah dan pengusaha, yang merupakan dampak dari tingginya biaya politik dan inefisiensi birokrasi. Kepala daerah yang terpilih merupakan hasil dari biaya tinggi yang dikeluarkan selama pilkada berlangsung. Akumulasi biaya kampanye tidak sebanding dengan gaji seorang kepala daerah selama menjabat. Berangkat dari fakta empiris diatas maka kita tidak perlu heran kalau banyak kepala daerah yang korupsi. Karena potensi untuk korupsi memang besar disebabkan adanya utang moril terhadap orang-orang yang sebelumnya punya kepentingan. Jadi ungkapan “Power tends to the corrupt” memang benar adanya.
Dengan rentetan fakta yang tersaji diatas maka gambaran bahwa Good governance dalam demokrasi hanyalah sebuah mitos. Harapan akan hadirnya sebuah “Welfare state” atau Negara yang menjamin kesejahteraan umum “General walfare” dalam prosesi demokrasi adalah hal yang utopis. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, Indonesia dikaterogikan sebagai sebuah Negara yang berada dalam kondisi “Failure State” Negara yang gagal mensejahterakan rakyatnya. Ataukah memang demokrasi kita yang terlahir premature sehingga semua realitas politik hari ini hanyalah sebuah konsekuensi?. Dan yang lebih aneh lagi adalah hari ini banyak oknum yang mengklaim bahwa Indonesia mengalami perkembangan demokratisasi yang pesat, ketika fakta empiris menunjukkan bahwa demokrasi tidak lebih dari sebuah sistem yang merusak tatanan kehidupan bernegara. Klaim bahwa demokrasi itu sistem yang paripurna sebetulnya hanyalah sebuah hegemoni yang kemungkinannya mengarah kepada sebuah universalisasi ideologi tertentu.  Negara ini hanya berada dalam suatu kondisi yang paradoksal karena ditengah dominasi barat yang secara tidak langsung telah mengintervensi secara ideologi dan politik.
Di tengah carut marutnya pilkada sebagai sebuah seremoni politik dalam dunia demokrasi, lalu apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani persoalan tersebut. Apakah dengan solusi yang sifatnya praktis seperti efesiensi anggaran dengan menggunakan dana APBN, pilkada serentak, sampai Edemokrasi (penggunaan teknologi informasi dan komunikasi). Tetapi apakah ada solusi yang lebih mengarah ke pokok persoalan yang lebih substansial. Dalam hal ini penulis punya sudut pandang dalam melihat persoalan ini, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa demokrasi hanya berbicara persoalan menang kalah, bukan benar salah. Demokrasi menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas yang justru menurut empunya demokrasi plato dan Aristoteles demokrasi itu menyesatkan Karena pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam. Pilihan rakyat dapat bersifat buta, tiba-tiba atau transaksional, tergantung siapa yang mau membayar. Jadi demokrasi hari ini juga menyandarkan kedaulatannya pada uang “Kedaulatan uang”. Dibutuhkan suatu formulasi yang betul-betul mampu mengimbangi efek demokrasi, salah satu hal perlu di pertegas adalah Indonesia sebagai sebuah Negara hukum Rechstaat.
Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dengan tegas dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Artinya Indonesia tidak hanya menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas tetapi juga pada kedaulatan hukum atau biasa dikenal dengan istilah Nomokrasi. Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan politik dalam kehidupan bernegara, sedangkan nomokrasi adalah penyerahan terhadap hukum terhadap pencideraan demokrasi. Jadi demokrasi dan nomokrasi eksistensinya seperti dua sisi dari sekeping mata uang.  Nomokrasi sebuah keharusan yang mutlak dibutuhkan berjalan seiringan dengan demokrasi, tetapi hari ini demokrasi (Kedaulatan politik) justru memasung nomokrasi (kedaulatan hukum). Nomokrasi dalam hal ini mewujud dalam bentuk undang-undang yang merupakan aturan pelaksanaan tidak boleh memberikan banyak celah untuk para aktor. Kebijakan politik harus sejalan dengan aturan yang ada. Dan semestinya ini yang perlu kita kaji lebih jauh dalam diskursus filsafat politik hukum. Ataukah kita akankah membiarkannya begitu saja tanpa ada reorientasi pendidikan politik? Maka konsekuensinya sederhana, generasi kedepannya juga hanya akan menikmati hal yang sama seperti yang kita alami saat sekarang ini.