Pemilihan kepala daerah adalah suatu
prosesi demokrasi di mana Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki jumlah
pilkada paling banyak diantara semua Negara demokrasi di dunia. Dengan jumlah
33 wilayah propinsi, 399 kabupaten, dan jumlah desa/kelurahan yang mencapai
kurang lebih 78.000. Dapat dibayangkan betapa Indonesia sebagai sebuah Negara
yang paling sibuk dalam urusan seremonial politik. Ketika demokrasi membuka
keran otonomi daerah yang seluas-luasnya di mana
salah satunya adalah kepala daerah dipilih secara langsung yang merupakan salah
satu prinsip demokrasi. Jumlah yang sangat fantastis dan kemungkinan besarnya
Indonesia adalah sebuah Negara yang hampir tiap hari ada pesta demokrasi. Otonomi
daerah yang sejatinya diorientasikan terhadap efektifnya public service (pelayanan public) justru banyak memunculkan
persoalan disebabkan mayoritas aktor melihat penyelengaraan otonomi daerah
sebagai sebuah sayembara untuk menjadi pemegang kebijakan.
Pada kesempatan kali
ini penulis tidak menyoroti otonomi daerah dalam artian yang luas, tetapi lebih
spesifik kepada tumpukan persoalan dalam pemilihan kepala daerah secara
langsung. Mulai dari persoalan efesiensi anggaran, konflik horizontal yang
muncul karena perbedaan pilihan politik, distrust terhadap partai politik yang
menyebabkan menjamurnya calon independen, tingkat partipatif yang sangat
rendah, sampai kepada persoalan High cost
politic biaya politik yang tinggi. Pembahasan pertama adalah menyangkut efesiensi
anggaran terhadap prosesi pilkada yang sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada
menelan biaya yang tinggi dari APBD yang jumlahnya bisa mencapai Milyaran
rupiah. Dan irosnisnya karena bagi daerah yang
kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi
belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya
adalah persoalan munculnya konflik horizontal dari prosesi pilkada. Mulai dari
laporan kecurangan pilkada yang masuk ke lembaga Mahkamah konstitusi, tiap hari
laporan yang masuk mencapai ratusan. sampai tindakan anarkis yang muncul karena
ketidakpuasan menerima hasil pilkada menggiring massa pendukung kandidat
khususnya yang kalah untuk bertindak destruktif. Ini adalah sebuah potret buram
ancaman disintegrasi terhadap kelangsungan proses demokratisasi di Indonesia.
Lain halnya dengan Fenomena
menjamurnya calon independen dalam pilkada. Di sejumlah daerah di Indonesia
justru ada beberapa kandidat dari calon independen yang menang karena mampu
meraih simpati masyarakat. Hal ini juga yang melegitimasi bahwa hari ini
masyarakat tengah mengalami distrust terhadap partai politik yang merupakan
pilar demokrasi. Ada beberapa hasil survei yang menunjukkan bahwa
dukungan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun akibat kekecewaan
publik yang menilai pemerintahan yang diwakili parpol cenderung mengalami stagnasi.
Diperparah dengan tingkat partisipasi pilkada disetiap daerah yang tergolong
rendah, masyarakat cenderung apatis untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Sebahagian masyarakat paranoid dengan Term “Politik”, politik seolah sebuah aib
yang kemasannya hanya dipenuhi dengan hal-hal yang konotasinya negatif. Dan
satu hal yang tidak bisa dinafikkan adalah bahwa ongkos pilkada dalam prosesi
demokrasi di Indonesia membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi. Tidak
jarang terjadi “kongkalikong”
kepentingan antara kepala daerah dan pengusaha, yang merupakan dampak
dari tingginya biaya politik dan inefisiensi birokrasi. Kepala daerah yang
terpilih merupakan hasil dari biaya tinggi yang dikeluarkan selama pilkada
berlangsung. Akumulasi biaya kampanye tidak sebanding dengan gaji seorang
kepala daerah selama menjabat. Berangkat dari fakta empiris diatas maka kita
tidak perlu heran kalau banyak kepala daerah yang korupsi. Karena potensi untuk
korupsi memang besar disebabkan adanya utang moril terhadap orang-orang yang sebelumnya
punya kepentingan. Jadi ungkapan “Power
tends to the corrupt” memang benar adanya.
Dengan
rentetan fakta yang tersaji diatas maka gambaran bahwa Good governance dalam demokrasi hanyalah sebuah mitos. Harapan akan
hadirnya sebuah “Welfare state” atau
Negara yang menjamin kesejahteraan umum “General
walfare” dalam prosesi demokrasi adalah hal yang utopis. Justru yang
terjadi adalah sebaliknya, Indonesia dikaterogikan sebagai sebuah Negara yang
berada dalam kondisi “Failure State” Negara
yang gagal mensejahterakan rakyatnya. Ataukah memang demokrasi kita yang
terlahir premature sehingga semua realitas politik hari ini hanyalah sebuah konsekuensi?.
Dan yang lebih aneh lagi adalah hari ini banyak oknum yang mengklaim bahwa
Indonesia mengalami perkembangan demokratisasi yang pesat, ketika fakta empiris
menunjukkan bahwa demokrasi tidak lebih dari sebuah sistem yang merusak tatanan
kehidupan bernegara. Klaim bahwa demokrasi itu sistem yang paripurna sebetulnya
hanyalah sebuah hegemoni yang kemungkinannya mengarah kepada sebuah
universalisasi ideologi tertentu. Negara
ini hanya berada dalam suatu kondisi yang paradoksal karena ditengah dominasi
barat yang secara tidak langsung telah mengintervensi secara ideologi dan
politik.
Di tengah
carut marutnya pilkada sebagai sebuah seremoni politik dalam dunia demokrasi, lalu
apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani persoalan tersebut. Apakah
dengan solusi yang sifatnya praktis seperti efesiensi anggaran dengan
menggunakan dana APBN, pilkada serentak, sampai Edemokrasi (penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi). Tetapi apakah ada solusi yang lebih
mengarah ke pokok persoalan yang lebih substansial. Dalam hal ini penulis punya
sudut pandang dalam melihat persoalan ini, sebagaimana yang kita ketahui
bersama bahwa demokrasi hanya berbicara persoalan menang kalah, bukan benar
salah. Demokrasi menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas yang justru
menurut empunya demokrasi plato dan Aristoteles demokrasi itu menyesatkan Karena
pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam. Pilihan rakyat dapat
bersifat buta, tiba-tiba atau transaksional, tergantung siapa yang mau
membayar. Jadi demokrasi hari ini juga menyandarkan kedaulatannya pada uang “Kedaulatan uang”. Dibutuhkan suatu
formulasi yang betul-betul mampu mengimbangi efek demokrasi, salah satu hal
perlu di pertegas adalah Indonesia sebagai sebuah Negara hukum Rechstaat.
Dalam
pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dengan tegas dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.
Artinya Indonesia tidak hanya menyandarkan kedaulatannya kepada mayoritas
tetapi juga pada kedaulatan hukum atau biasa dikenal dengan istilah Nomokrasi.
Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan
politik dalam kehidupan bernegara, sedangkan nomokrasi adalah penyerahan
terhadap hukum terhadap pencideraan demokrasi. Jadi demokrasi dan nomokrasi
eksistensinya seperti dua sisi dari sekeping mata uang. Nomokrasi
sebuah keharusan yang mutlak dibutuhkan berjalan seiringan dengan demokrasi,
tetapi hari ini demokrasi (Kedaulatan politik) justru memasung nomokrasi
(kedaulatan hukum). Nomokrasi dalam hal ini mewujud dalam bentuk undang-undang
yang merupakan aturan pelaksanaan tidak boleh memberikan banyak celah untuk
para aktor. Kebijakan politik harus sejalan dengan aturan yang ada. Dan
semestinya ini yang perlu kita kaji lebih jauh dalam diskursus filsafat politik
hukum. Ataukah kita akankah membiarkannya begitu saja tanpa ada reorientasi
pendidikan politik? Maka konsekuensinya sederhana, generasi kedepannya juga
hanya akan menikmati hal yang sama seperti yang kita alami saat sekarang ini.