Sabtu, 19 Januari 2013

TINJAUAN RASIONALITAS TERHADAP PERBEDAAN


Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, maka semestinya juga merupakan sebuah keniscayaan kalau kita mesti belajar menyikapi perbedaan. Terlebih kalau perbedaan tersebut adalah suatu hal yang sifatnya aksidental. Bukankah kita diciptakan berbeda supaya saling mengenal satu sama lain, coba renungkan kalau kita semua diciptakan sama, mulai dari struktur fisik, warna kulit, jenis kelamin, kira-kira peradaban seperti apa yang akan lahir? Maka suatu hal yang sifatnya fitrawi kalau dalam setiap hal kita akan selalu menemukan perbedaan. Justru dengan perbedaanlah akan lahir sebuah harmonisasi yang indah, bayangkan kalau warna pelangi sama, tidak ada susunan warna. Terus apa yang membedakan ia dengan langit yang satu warna atau awan yang juga cuma satu warna. Kita menghakimi pelangi Indah karena adanya susunan warna yang berbeda, sementara langit dan awan terlihat biasa-biasa saja. Sungguh alam semesta ini menyimpan beragam fenomena yang harus kita renungkan. Merenunglah karena merenung adalah sebuah proses berpikir di mana kita menghargai perbedaan kita sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk lainnya. Penghargaan kita terhadap yang membedakan kita dengan mahluk lainnya adalah karena kita diciptakan sebagai mahluk yang berakal.
Maka sebuah keanehan terbesar sepanjang peradaban ummat manusia adalah ketika masih saja ada yang tidak tahu menghargai perbedaan. Masih mengekslusifkan sesuatu yang bukan otoritasnya. Orang yang tidak bisa menghargai perbedaan adalah orang yang tidak menghargai tuhan, karena perbedaan adalah karya tuhan. Termasuk bagaimana menyikapi perbedaan pada persoalan benar salah. Dalam hal bagaimana menyikapi perbedaan pada persoalan benar salah, kecenderungannya cara menyikapi akan terbagi terbagi dalam tiga karakteristik. Deskripsi tentang bagaimana menyikapi perbedaan bisa diilustrasikan dengan beragam analogi. Semisal “Bagaiamana kalau kebenaran itu muncul dengan seribu wajah yang berbeda”. Apakah kita semua akan menyikapinya dengan cara yang sama. Jawabannya kan tidak, justru dari cara menyikapi juga akan muncul perbedaan. Lalu apakah dengan perbedaan menyikapi benar salah tersebut kita tidak bisa membedakan yang mana benar yang mana salah. Dari cara menyikapi bisa  dibedakan beragam karakteristik.
Karakteristik yang pertama bernama ekslusifis penganutnya disebut “Kaum Ekslusifis” ia akan mengambil satu wajah kemudian ia mengatakan “Inilah wajah kebenaran, tidak ada kebenaran selain dari wajah ini”. Kemudian karakteristik yang ke dua bernama inklusifis “Kaum Inklusifis” Ia juga akan mengambil satu wajah kemudian mengatakan “Inilah wajah kebenaran,  Mungkin ada kebenaran selain wajah ini. Dan karakteristik yang ketiga bernama pluralis, “Kaum pluralis” ia akan mengambil satu wajah kemudian mengatakan “Inilah wajah kebenaran, ini hanyalah sekian dari banyaknya wajah kebenaran”.
Dan pada kondisi di mana kita mampu membedakan yang mana benar yang mana salah, apakah cara menyikapi kita harus dengan menertawai atau menghujat. Atau sampai pada titik ekstrim “mengkafirkan. Justru dengan cara menyikapi seperti itu dengan sendirinya mendalilkan kalau kita belum bisa membedakan posisi benar salah. Menurut penulis “dalam persoalan menyikapi perbedaan Baik buruk dan rasional bukanlah suatu hal yang sifatnya kontradiktif”. Ada yang menyikapi perbedaaan bukan dengan cara seperti itu tetapi justru mengasihani dan mendoakan. Ini yang semestinya kita teladani. Bukankah ini adalah persoalan bagaimana menyikapi. Dan parameter bagaimana menyikapi sudah jelas. Siapa yang mesti diteladani dan bagaimana cara meneladaninya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar