Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menjadi payung hukum pelaksanaan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) Dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah konstitusi. Dalam amar putusannya tanggal 8 januari 2013 Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pelaksanaan RSBI mengindikasikan adanya diskriminasi dan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Diskriminasi yang dimaksud di sini adalah bahwa sekolah yang menerapkan RSBI melakukan pungutan kepada orang tua siswa yang konsekuensinya adalah hanya siswa dengan taraf ekonomi layak yang mampu membayar. artinya siswa kurang mampu tetapi cerdas tidak memiliki peluang yang sama, sementara hak untuk memperoleh pendidikan yang layak adalah hak konstitusional seluruh warga Negara tanpa adanya pengecualian. Sedang liberalisasi yang dimaksud adalah bahwa RSBI yang intensif meningkatkan kemampuan belajar bahasa asing telah mengikis rasa nasionalisme. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak lagi menjadi prioritas utama dalam proses belajar mengajar. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kekhawatiran sistem pendidikan yang proses pelaksanaannya bermuara pada dualisme.
Walaupun RSBI sebenarnya digadang-gadang untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi kenyataanya RSBI hanya menjadi lahan empuk komersialisasi pendidikan. RSBI mendapatkan perlakuan istimewa karena setiap tahun mendapat kucuran dana dari pemerintah dengan jumlah yang cukup besar, bisa mencapai 200-300 juta. Belum terhitung anggaran dari APBD baik dari propinsi maupun kabupaten kota, serta sumbangan atau pungutan kepada orangtua siswa. Anggaran itu adalah dalih untuk meningkatkan suprastruktur dan infrastrukur pendidikan. Peningkatan skill pengajar, pembelian sarana belajar, dan pembayaran bahan pengajaran. Tetapi paradoksnya justru keberadaan RSBI pada tahun 2010 oleh anggota komisi pendidikan DPR meminta untuk dievaluasi sebab banyak siswa yang tidak lulus sementara berasal dari sekolah dengan label RSBI.
Secara filosofis memang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa salah tujuan Negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tetapi yang harus digaris bawahi adalah bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak boleh dibangun diatas pondasi diskriminatif. Kalau hak untuk mendapatkan pendidikan adalah hak asasi dengan skala primer, semestinya semua anak bangsa memiliki akses untuk menikmati indahnya dunia pendidikan. Inilah kemudian yang menjadi celah bagaimana Mahkamah konstitusi melihat keberadaan RSBI merupakan inkonstitusionalitas norma. Keberadaan RSBI juga dinilai rentan dengan penyelewengan anggaran, sebagaiaman yang kita ketahui bersama bahwa 20% dari APBN diperuntukkan untuk pendidikan. Dana APBN untuk pendidikan ini kemudian yang direduksi untuk membiayai program sekolah bertaraf internasional. Dari kurang lebih 1300 jumlah sekolah RSBI di Indonesia, dapat dikalkulasi berapa besar anggaran yang diperuntukkan dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan. Kalau tidak disertai adanya transparansi anggaran dan kurangnya pengawasan dari BPK (badan pemeriksa keuangan) bukan suatu hal yang mustahil kalau anggaran RSBI menjadi lahan subur untuk para koruptor. Artinya riset yang pernah dikeluarkan salah satu lembaga anti korupsi di Indonesia dengan menempatkan salah satu institusi yang seyogianya berdiri digarda depan penegakan moralitas tetapi justru dideklarasikan sebagai salah satu lembaga terkorup bukanlah suatu hal yang mengherankan.
Hal lain yang menarik adalah putusan MK tidak sepenuhnya disetujui oleh semua Hakim Konstitusi. Dari Sembilan jumlah hakim, terdapat salah seorang Hakim, Achmad sadiki yang membuat putusan berbeda (dissenting opinion). Achmad sadiki menilai tidak ada inkonstitusionalitas norma dari RSBI tetapi kesalahnnya terletak pada penerapan hukum. Achmad sadiki mencoba merasionalkan eksistensi RSBI, yang menurut asumsi penulis persoalan ini kemungkinan di giring ke pro dan kontra. Tetapi kalau putusan MK Sudah pada tahap inkracht van gewisjde (memiliki kekuatan hukum yang tetap) artinya putusan tersebut harus dilaksanakan. Konsekuensi dari putusan MK adalah peralihan status RSBI kembali menjadi sekolah reguler. Perubahan inilah kemudian yang diharapkan agar ke depan pemerintah melakukan reorientasi misi pendidikan tanpa harus membuat pusaran antara si kaya dan si miskin. Pemerintah harus membuka akses agar semua warga Negara dapat mengenyam pendidikan. Bukankah cerdas tidaknya seseorang bukan ditetapkan karena ia terlahir dari keluarga mampu atau kurang mampu, tetapi bagaimana factor eksternal membentuknya. Pemerintah diharap menjadi factor x dengan membuka ruang dan menyediakn fasilitas yang sama tanpa ada diskriminasi. Dengan cara seperti itu kita masih dapat mengatakan “Indonesia adalah sebuah Negara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar