Sabtu, 01 Desember 2012

Nasionalisme kulit bundar

Sepak bola adalah sebuah bahasa universal, di mana sepak bola mampu memadukan beragam jenis perbedaan menjadi sebuah harmoni yang indah. Dalam sepak bola perbedaan suku, agama, ras, mampu melebur menjadi satu. Ini adalah salah satu alasan kenapa olahraga ini merupakan olahraga paling terfaforit diantara olahraga yang lain. Bahkan di era modernisasi saat sekarang ini sepakbola telah berkembang menjadi sebuah industry. Sepak bola tidak hanya menjadi sekadar hobi, tetapi yang punya kemampuan mengolah sikulit bundar diatas rata-rata menjadikan sepak bola sebagai profesi yang sangat menjanjikan. Siapa yang tidak kenal cr7, lionel messi, david beckham, mereka adalah pesepakbola yang penghasilannya kalau dikalkulasi mampu mencapai milyaran rupiah perhari. Adu rivalitas di level klub, mulai dari gaji tertinggi, trophy juara, sampai penghargaan individu. Tetapi sekian dari variable yang menarik dari sepak bola salah satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ekspektasi pendukung (supporter) dari sebuah team. Supporter sebagai pemain ke dua belas adalah salah satu faktor yang juga turut berpengaruh, dukungan supporter mampu mengangkat moril pemain yang bertarung di lapangan hijau. Sisi fanatisme supporter yang turut mewarnai kompetisi, ini adalah sebuah deskripsi bahwa dalam sepak bola kompetisi tidak hanya di lapangan hijau.
Ada cerita menarik dari Pertandingan sepak bola piala AFF CUP 2012 tadi malam yang mempertemukan antara Indoensia vs Malaysia yang akan penulis ceriterakan. Sebelumnya kita menelisik dulu turnamen dua tahunan ini. Kontestan dari Turnamen ini adalah Negara Asia Tenggara, Indonesia sebagai salah satu Negara terbesar di asia tenggara seyogyianya menjadi kiblat raksasa sepakbola di ASEAN. Melihat peta kekuatan masing-masing Negara, kompetisi regular yang berjalan. Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki liga profesinal seharusnya mampu memberikan kontribusi untuk membangun sebuah kekuatan timnas yang tidak tertandingi untuk skala ASEAN. Tetapi lagi-lagi persoalan klasik, konflik elit di internal petinggi PSSI membuat Persiapan Timnas tidak matang. Materi pemain Timnas di huni kebanyakan pemain muda yang belum cukup pengalaman.  Akan tetapi persoalan ini tidak membuat animo masayarakat Indonesia untuk mendukung Timnas jadi turun. Jutaaan warga Negara tetap setia untuk tetap menyaksikan setiap pertandingan tim garuda di ajang dua tahunan ini. Penulis melihat satu gambaran bagaimana  dukungan supporter yang dibingkai atan nama “Nasionalisme”. Di mana Sebelas pemain memikul sebuah tangunng jawab untuk menjawab harapan ratusan juta pasang mata yang turut menyaksikan pertandingan lewat layar kaca.
Penulis adalah sekian dari jutaan warga Negara yang berharap Timnas mampu menjawab ekspektasi public. Menyempatkan waktu bersama teman untuk nonton bareng dengan ratusan warga kota Makassar di gedung Suzuki jalan A.p Pettarani. Di  tempat ini penulis dapat menyaksikan bagaimana Animo masyarakat terhadap sepak bola. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, turut hadir untuk memberikan dukungan kepada Timnas. Dan yang membuat kami tersentuh adalah kehadiran dua ibu muda yang duduk pas di belakang kursi kami. Apa ada yang aneh dengan ibu muda tersebut? Sampai-sampai kami saling merunduk dan berbisik  kemudian melempar senyuman. Ya Ibu muda tersebut tengah hamil tua, ia rela berdesak-desakan, terlihat tenang walaupun keluar suara yang besar dari hiruk pikuk penonton dan  dari sound system yang besar. Mungkin terlihat biasa bagi orang lain, tapi bagi penulis justru mengannggap itu sebagai sebuah fenomena yang luar biasa. Ibu muda itu juga terlihat antusias menyaksikan pertandingan, dengan beragam ekspresi apalagi saat Timnas sudah ketinggalan dua gol, Ia diam dengan tatapan mata yang sayu. Sekali-sekali terlihat setengah berteriak ketika Indonesia mendapatkan peluang untuk mencetak gol, ia larut dalam atmosfer pertandingan. Menyaksikan pemandangan itu saya bergumam dalam hati “Mudah-mudahan saja dari rahim ibu muda ini akan lahir generasi emas sepak bola Indonesia”.
Dari cerita di atas penulis melihat asosiasi antara sepak bola dan rasa nasionalisme sangat erat. Sepak bola bisa menjadi sebuah pilar untuk membangun sebuah ego kebangsaan. Nasionalisme yang dimaknai sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, sifat kenasionalan, “makin menjiwai bangsa Indonesia”. Dengungan lagu Indonesia raya yang bergemuruh sebelum pertandingan Sepak bola tidak hanya sekadar seremoni sebelum pertandingan di mulai. Tetapi ada makna yang harus di gali secara filosofis, bahwa Indonesia ini adalah sebuah bangsa yang besar. Kita tidak akan membiarkan Bangsa lain untuk menginjak-injak harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa yang besar. Ego kebangsaan itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa kita ini punya identitas, kesamaan pandangan hidup, senasib sepenanggungan. Bukankah kita ini memang diciptakan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal satu sama lain?. Jadi semestinya kita harus belajar dari si kulit bundar untuk memupuk rasa nasionalisme.

Daftar pustaka: 
Detik.com
Artikata.com