Jelas dalam UUD dasar kita pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. UUD yang merupakan landasan konstitusi dalam menjalankan roda
pemerintahan menegaskan bahwa Negara ini adalah organisasi yang bertujuan untuk
memakmurkan anggotanya (Red:rakyatnya). Tidak boleh ada nafsi-nafsi dalam
pengaplikasiannya karena kandungannya jelas tersurat dan sudah melewati empat
tahapan amandemen. Indonesia adalah sebuah negara hukum rechstaat, artinya setiap kebijakan pemerintah harus memiliki
pertimbangan secara yurisdiksi.
Indonesia adalah sebuah Negara yang sering mendeklarasikan diri sebagai
sebuah Negara yang kaya akan sumber daya alam. Dan katanya jika kekayaan
alamnya diolah secara proporsional dan transparan maka mayoritas rakyat
dipastikan akan hidup makmur. Tetapi realitas hari ini menunjukkan sesuatu yang
kontras, Indonesia tetaplah sebuah negara yang akrab dengan kemiskinannya.
Indonesia yang tidak bisa lepas dari jerat utang Internasionalnya. Indonesia
tetap asik dengan diskusi seolah-olahnya tentang bagaimana memerangi korupsi.
Ataukah yang diluar dari pembahasan hukum, Indonesia yang penontonnya galau
karena Timnas U 23nya gagal merebut medali emas Sea games. Indonesia tetap
dengan 1001 cerita tentang kegagalannya. Ya seperti itulah faktanya Gap antara
Das sein dan Das sollen masih sangat menganga lebar.
Kembali pada amanah
konstitusi pasal 33 ayat 3 yang menjadi pokok pembahasan. Aplikatifkah
pengewajantahan UUD kita.? Ataukah ada sesuatu yang salah dalam menerjemahkan
amanah dari UUD? UUD memang bukan aturan pelaksanaan, aturan yang
diabstraksikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Misalnya UU
Pertambangan Minyak bumi dan gas (Migas). Tetapi satu hal yang harus dipastikan
adalah bahwa isi dan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut
tidak boleh bertentangan dengan landasan konstitusi. Landasan konstitusi kita
dengan jelas mengamanahkan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Konstitusi adalah sebuah konsep niscaya untuk memakmurkan
rakyat. Jadi logika sederhananya adalah kalau masyarakat belum hidup makmur
berarti amanah dari UUD dasar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada sesuatu
yang kontradiktif dalam mengejawantahkan amanah UUD, Hal inilah yang akan coba
kita analisa kenapa amanah itu abadi dikhayalan utopis dipraktis?
“Dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Sekilas ini adalah sebuah kalimat yang memberi
harapan akan terjaminnya sebuah keadilan sosial seperti yang tercantum dalam
pancasila butir ke 5 yang sekaligus sebagai landasan filosofi. Lalu kenapa Negara
ini tidak bisa mewujudkan sebuah keadilan sosial. Bukankah negara ini secara
yuridis dan filosofis mendukung terwujudnya sebuah masyarakat adil makmur. Iya,
tetapi hari ini kita terbentur oleh sebuah hegemoni. Hegemoni kaum kapitalis.
Dan sebenarnya apakah kapitalis itu? Apa pengaruh kapitalis terhadap sistem
perekonomian atau dalam arti holistik? Seberapa besar pengaruh kapitalis
sehingga kita paranoid mendengar term ini. Walaupun sebenarnya Tidak ada
kesepakatan dalam mendefinisikan kapitalisme. Sebuah film dokumenter yang disutradarai
Michael Moore, Capitalism, A Love Story dengan jenaka membuktikan bahwa
orang-orang kapitalisme juga kebingungan saat disuruh mendeskripsikan apa itu kapitalisme.
Secara umum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memberikan peluang
sebesar-besarnya kepada para pemilik modal (capital) untuk mengumpulkan
laba sebanyak-banyaknya. Dalam logika kapitalisme, semua benda yang ada di alam
ini berhak untuk dikuasai oleh manusia, selama dia punya uang (modal/capital).
Mekanisme keadilan dilihat dari seberapa banyak modal yang anda miliki jadi
kalau anda komplain maka dengan
congkaknya para kapitalisme berujar “siapa suruh ga punya modal? Kemiskinan
kalian itu adalah salah kalian sendiri! Atau salah anda kenapa tidak memilih
lahir dari rahim pemilik modal”. Contoh konkert yang biasa didiskusikan adalah
pengelolaan minyak yang ada di dalam perut bumi.
Menurut para kapitalis, karena mereka
yang punya uang dan teknologi untuk menyedot minyak itu, mereka pun berhak
menguasai minyak itu dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang mereka
tentukan sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak heran bila ada konglomerat
super-super kaya karena jualan minyak. Realitas sudah sangat menunjukkan adanya
penyimpangan dari amanah konstitusi, Dan yang lebih menyesakkan dada karena
pemilik modalnya bukan orang pribumi tetapi para antek asing yang tidak
henti-hentinya menguras kekayaan alam negeri ini. Bermula dari utang luar
negeri yang bahasa halusnya pinjaman, para kapitalisme yang dimotori oleh
organisasi Internasional Dana Moneter Internasional atau International
Monetary Fund (IMF) memberikan
pinjaman kepada negara anggotanya termasuk Indonesia. Dan konsekuensinya
sederhana kalau menurut mereka Negara yang menerima pinjaman sebagai imbalannya
harus melakukan kebijakan tertentu misalnya privatisasi badan usaha milik
Negara. Jadi jangan protes kalau hari ini ada lumbung kekayaan alam yang
dikelola oleh pihak asing. Mau nasionalisasi aset, regulasi kita lemah dan bisa
diatur karena bisa lepas dari tendensi kepentingan segelintir orang. Kontrak karya
yang disepakati bisa diperpanjang. Ya, kuras sampai habis.!!!
Lalu apa yang bisa atau seharusnya kita
perbuat. Sedangkan kita sama-sama sepakat bahwa diam adalah bentuk persetujuan
yang pasif. Membiarkan para kapitalis untuk tetap menggeruk kekayaan alam kita?
Harus ada counter-hegemony, alam
bawah sadar harus menjalani proses ‘penyadaran’ (emansipasi), supaya akhirnya
kita mampu menciptakan masa depan sendiri melalui kehendak dan kesadaran penuh.
Dan mari kita sama-sama berpikir apa solusi dari permasalahan ini, karena
fitrahnya manusia adalah mahluk yang berpikir! Penulis bukan membagikan
kebingungan tapi sadar bahwa setiap dari kita punya potensi untuk berpikir
bagaimana menyelesaikan masalah. Butuh kesadaran kolektifitas karena masalah ini
adalah masalah sosial dan teman-teman juga adalah mahluk sosial, kecuali kalau
teman-teman mahluk asosial.!!
“Seseorang tidak bisa bebas tanpa kebesaran,
Tetapi tak seorangpun bisa besar tanpa kebebasan” Khalil ghibran.
" Penulis bukan membagikan kebingungan tapi sadar bahwa setiap dari kita punya potensi untuk berpikir bagaimana menyelesaikan masalah ". Pekikan yang mantap !
BalasHapusMari kita cari dan amalkan solusinya kawan !
Ya kita bisa mengatasi masalah tanpa masalah. :)
BalasHapus