Jumat, 25 November 2011

Ekonomi Dalam Jerat Kapitalisme Global


Jelas dalam UUD dasar kita pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD yang merupakan landasan konstitusi dalam menjalankan roda pemerintahan menegaskan bahwa Negara ini adalah organisasi yang bertujuan untuk memakmurkan anggotanya (Red:rakyatnya). Tidak boleh ada nafsi-nafsi dalam pengaplikasiannya karena kandungannya jelas tersurat dan sudah melewati empat tahapan amandemen. Indonesia adalah sebuah negara hukum rechstaat, artinya setiap kebijakan pemerintah harus memiliki pertimbangan secara yurisdiksi.  Indonesia adalah sebuah Negara yang sering mendeklarasikan diri sebagai sebuah Negara yang kaya akan sumber daya alam. Dan katanya jika kekayaan alamnya diolah secara proporsional dan transparan maka mayoritas rakyat dipastikan akan hidup makmur. Tetapi realitas hari ini menunjukkan sesuatu yang kontras, Indonesia tetaplah sebuah negara yang akrab dengan kemiskinannya. Indonesia yang tidak bisa lepas dari jerat utang Internasionalnya. Indonesia tetap asik dengan diskusi seolah-olahnya tentang bagaimana memerangi korupsi. Ataukah yang diluar dari pembahasan hukum, Indonesia yang penontonnya galau karena Timnas U 23nya gagal merebut medali emas Sea games. Indonesia tetap dengan 1001 cerita tentang kegagalannya. Ya seperti itulah faktanya Gap antara Das sein dan Das sollen masih sangat menganga lebar.
            Kembali pada amanah konstitusi pasal 33 ayat 3 yang menjadi pokok pembahasan. Aplikatifkah pengewajantahan UUD kita.? Ataukah ada sesuatu yang salah dalam menerjemahkan amanah dari UUD? UUD memang bukan aturan pelaksanaan, aturan yang diabstraksikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Misalnya UU Pertambangan Minyak bumi dan gas (Migas). Tetapi satu hal yang harus dipastikan adalah bahwa isi dan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan landasan konstitusi. Landasan konstitusi kita dengan jelas mengamanahkan bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konstitusi adalah sebuah konsep niscaya untuk memakmurkan rakyat. Jadi logika sederhananya adalah kalau masyarakat belum hidup makmur berarti amanah dari UUD dasar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada sesuatu yang kontradiktif dalam mengejawantahkan amanah UUD, Hal inilah yang akan coba kita analisa kenapa amanah itu abadi dikhayalan utopis dipraktis?
“Dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sekilas ini adalah sebuah kalimat yang memberi harapan akan terjaminnya sebuah keadilan sosial seperti yang tercantum dalam pancasila butir ke 5 yang sekaligus sebagai landasan filosofi. Lalu kenapa Negara ini tidak bisa mewujudkan sebuah keadilan sosial. Bukankah negara ini secara yuridis dan filosofis mendukung terwujudnya sebuah masyarakat adil makmur. Iya, tetapi hari ini kita terbentur oleh sebuah hegemoni. Hegemoni kaum kapitalis. Dan sebenarnya apakah kapitalis itu? Apa pengaruh kapitalis terhadap sistem perekonomian atau dalam arti holistik? Seberapa besar pengaruh kapitalis sehingga kita paranoid mendengar term ini. Walaupun sebenarnya Tidak ada kesepakatan dalam mendefinisikan kapitalisme. Sebuah film dokumenter yang disutradarai Michael Moore, Capitalism, A Love Story dengan jenaka membuktikan bahwa orang-orang kapitalisme juga kebingungan saat disuruh  mendeskripsikan apa itu kapitalisme.  Secara umum, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal (capital) untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Dalam logika kapitalisme, semua benda yang ada di alam ini berhak untuk dikuasai oleh manusia, selama dia punya uang (modal/capital). Mekanisme keadilan dilihat dari seberapa banyak modal yang anda miliki jadi kalau anda  komplain maka dengan congkaknya para kapitalisme berujar “siapa suruh ga punya modal? Kemiskinan kalian itu adalah salah kalian sendiri! Atau salah anda kenapa tidak memilih lahir dari rahim pemilik modal”. Contoh konkert yang biasa didiskusikan adalah pengelolaan minyak yang ada di dalam perut bumi.
Menurut para kapitalis, karena mereka yang punya uang dan teknologi untuk menyedot minyak itu, mereka pun berhak menguasai minyak itu dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak heran bila ada konglomerat super-super kaya karena jualan minyak. Realitas sudah sangat menunjukkan adanya penyimpangan dari amanah konstitusi, Dan yang lebih menyesakkan dada karena pemilik modalnya bukan orang pribumi tetapi para antek asing yang tidak henti-hentinya menguras kekayaan alam negeri ini. Bermula dari utang luar negeri yang bahasa halusnya pinjaman, para kapitalisme yang dimotori oleh organisasi Internasional Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memberikan pinjaman kepada negara anggotanya termasuk Indonesia. Dan konsekuensinya sederhana kalau menurut mereka Negara yang menerima pinjaman sebagai imbalannya harus melakukan kebijakan tertentu misalnya privatisasi badan usaha milik Negara. Jadi jangan protes kalau hari ini ada lumbung kekayaan alam yang dikelola oleh pihak asing. Mau nasionalisasi aset, regulasi kita lemah dan bisa diatur karena bisa lepas dari tendensi kepentingan segelintir orang. Kontrak karya yang disepakati bisa diperpanjang. Ya, kuras sampai habis.!!!
Lalu apa yang bisa atau seharusnya kita perbuat. Sedangkan kita sama-sama sepakat bahwa diam adalah bentuk persetujuan yang pasif. Membiarkan para kapitalis untuk tetap menggeruk kekayaan alam kita? Harus ada counter-hegemony, alam bawah sadar harus menjalani proses ‘penyadaran’ (emansipasi), supaya akhirnya kita mampu menciptakan masa depan sendiri melalui kehendak dan kesadaran penuh. Dan mari kita sama-sama berpikir apa solusi dari permasalahan ini, karena fitrahnya manusia adalah mahluk yang berpikir! Penulis bukan membagikan kebingungan tapi sadar bahwa setiap dari kita punya potensi untuk berpikir bagaimana menyelesaikan masalah. Butuh kesadaran kolektifitas karena masalah ini adalah masalah sosial dan teman-teman juga adalah mahluk sosial, kecuali kalau teman-teman mahluk asosial.!!
“Seseorang tidak bisa bebas tanpa kebesaran, Tetapi tak seorangpun bisa besar tanpa kebebasan” Khalil ghibran.

2 komentar:

  1. " Penulis bukan membagikan kebingungan tapi sadar bahwa setiap dari kita punya potensi untuk berpikir bagaimana menyelesaikan masalah ". Pekikan yang mantap !
    Mari kita cari dan amalkan solusinya kawan !

    BalasHapus
  2. Ya kita bisa mengatasi masalah tanpa masalah. :)

    BalasHapus